Saturday, August 30, 2008

JAWABAN SOAL UJIAN E- BUSINESS 2008

HTML clipboardSoal Tipe A

Nomor. 1

a). Definisi E-Business diartikan secara sempit sebagai transaksi jual beli produk, jasa dan informasi antar mitra bisnis lewat jaringan computer, termasuk internet. Sedangkan E-Business mengacu pada lingkup yang lebih luas dan mencakup layanan pelanggan, kolaborasi dengan mitra bisnis, dan transaksi elektronik dalam sebuah organisasi.
Komponen E-Business
1). Electronic Data Interchange (EDI) didefinisikan sebagai pertukaran data komputer antar berbagai bidang organisasi atas sutau informasi terstrruktur dalam format yang standardan bisa diolah oleh komputer.
2). Digiatal Currency dimaksudkan untuk memungkinkan user memindahkan dananya secara elektronik dalam lingkungan kerja tertentu.
3). Electronic Catalogs (e-catalog) telah berada pada aplikasi komersil yang dirancang untuk internet dan merupakan komponen utama dari sistem e-commerce. E- Catalog merupakan antar muka grafis yang umumnya berbentuk halaman WWW dimana menyediakan informasi tentang penawaran produk dan jasa.
4). Intranet dan Extranet , umumnya intranet digambarkan hanya sebagai web server didalam perusahaan(internal), padahal sebenarnya intranet hanyalah kumpulan web site yang dimiliki oleh suatu kelompok (biasanya perusahaan) yang diakses hanya oleh anggota kelompok anggota tersebut. Sedangkan extranet merupakan area tertentu ari internet yang biasa diakses oleh kelompok diluar anggota kelompok internet, tapi dengan otorisasi tertentu.

b). Portal adalah Web site atau lain yang menyediakan poin inisial entri untuk Web data perusahaan internal. Yahoo! Adalah satu contoh. Ia menyediakann direktori informasi pada Internet bersamaa dengan berita, olah raga, cuaca, irektori telepon. Map, game, belanja, e-mail, dan layanan lainnya. Juga ada portal khusus untuk membantu pengguna mengenai minat tetertu. Misalnya, StarMedia adalah portal terkustomasi milik pengguna Internet dari Amrika Latin.
Portal bisa dipandang sebagai pintu gerbang/pintu elektronik kedalam sebuah perusahaan. Portal bisa meningkatkan produktifitas pekerja, karena dengan portal pekerja bisa mengakses infomasi penting dan berkolaborasi satu sama lain, dan bisa meningkatkan kinerja bisnis jika dirancang dan dipikirkan dengan matang. Dalam merancang sebuah portal yang perlu diperhatikan yaitu : Isi, Pengguna, Personalisasi, Dukungan kolaborasi, Kemudahaan penggunaan, Pembaruaan dan pengeditan, Pengelolaan dan administrasi, Keuntungan dan biaya yang dikeluarkan.

d). Multi-tiered Web Site Architecture
Multi-tier architecture: Web server is linked to a middle-tier layer that typically includes a series of application servers that perform specific tasks, as well as to a backend layer of existing corporate systems
Situs web Multi-tiered Architecture
Arsitektur multi-tingkat: Web server dihubungkan pada satu lapisan tingkat-pertengahan yang secara tipikal meliputi satu rangkaian server aplikasi yang melakukan tugas spesifik, demikian pula pada satu lapisan backend sistem korporat yang sudah ada.

Multi-tier E-commerce Architecture



Soal Tipe B

Nomor 2

Analisis Web site Craglist.org
a) Layanan yang ditawarkan adalah jaringan organisasi yang menawarkan berbagai jasa lewat internet.
b) Value proposition
c) Site generate revenue adalah mendapatkan penghasilan melalui trannsaksi lewat internet.
d) Apakah site tersebut partering dengan provider layanan atau produk komplementer? Sebutkan yang mana (partner dan produk)?. Dalam menyelenggarakan lewat internet dengan bekerja sama dengan berbagai dari beberapa negara.
Analisis Web site Epinions.com
a). Layanan yang ditawarkan adalah penjualan produk lewat internet
b). Value proposition
c). Site generate revenue adalah mendapat keuntungan penjualan lewat internet .
d). Apakah site tersebut partering dengan provider layanan atau produk komplementer? Sebutkan yang mana (partner dan produk)
adalah bekerja sama dengan penyediaan produk (suppliier dari berbagai produk
Menurut pendapat kami yang berbeda dari kedua site ini adalah
Craglist.org melakuakan bisnis bergerak bidang jasa . Epinions.com melakukan bisnis lewat internet bergerak bidang barang berupa fisik.

Nomor 3
a). Empat peran four intermediaries dalam business adalah
• Pintu gerbang - pusat (hub) Central untuk isi secara online
• Pembuat pasar – para perantara dimana mengumpulkan tiga layanan untuk peserta pasar
– Sebuah tempat untuk berdagang
– Atur untuk mengurus/memerintah perdagangan
– Satu infrastruktur untuk mendukung perdagangan
• Infomediary – menyediakan informasi khusus atas nama produsen [dari] barang-barang dan layanan serta pelanggan potensial mereka
• Penyedia layanan Aplikasi – menjual akses ke perangkat lunak Internet-based aplikasi kepada perusahaan lain
b). “Pada zaman internet maka peran intermediaries akan menghilang”.
Pendapat pro dan kontra pernyataan di atas menurut kami tidak akan menghilang karena :
• Para perantara – agen, perangkat lunak, atau bisnis yang membawa para pembeli dan penjual yang bersama-sama itu menyediakan satu infrastruktur perdagangan untuk meningkatkan e-business
• Reintermediation – menggunakan Internet untuk mengumpulkan kembali pembeli, penjual, dan mitra lain dalam satu rantai suplai tradisional di/dalam cara baru
• Penyedia Isi – perusahaan dimana menggunakan Internet untuk mendistribusikan isi copyrighted, mencakup berita, musik, games (pertandingan), buku, film/bioskop, dan banyak jenis lain [dari] informasi
• Perantara Secara online – para perantara antara para pembeli dan penjual [dari] barang-barang dan layanan

Nomor 4
a). Protokol adalah sejumlah atturan yang menentukan bagaimana dua buah komputer atau lebih saling berkumunikasi(seperti halnya jabat tangan antar dua orang untuk saling berkumunikasi).
b). Internet atau Interconection Network adalah jaringan antar komputer di seluruh dunia yang berkumunikasi antara satu dengan yang lain.
Internet adalah sumber informasi, media komunikasi dn media transaksi yang bisa berlaku secara global.
Awalnya dikembangkan oleh kalangan akademisi dan militer Amerika Serikat untuk kepentingan riset (science) dan intelejen pada tahun 1969.
Saat ini, internet sudah dipai oleh semua kalangan untuk berbagai keperluan dan hapir bisa diakses dimana saja.
c). Alamat Internet Protokol (IP) adalah empat angka unik yang mengindikasi lokasi unik komputer pada internet.
d). Domain adalah alamat induk situs di internet
e). Nama Domain adalah nama yang menunjukkan suatu titik koneksi unik pada internet.
f). Domain Name System adalah sisem hierarkis dari server yang menyimpan database untuk mengaktifkan konversi dari nama domain ke alamat IP-nya.
g). Webhosting adalah layananpemeliharaan komputer server Web atau serangkaian server dengan biaya tertentu. Perusahaan yang terdaftar sebagai pelanggan bisa membuat sendiri halaman Webnya atau memperolehnya dari layanan Web hosting
h).Database layer adalah
i). Aplication Layer adalah

Nomor 5
Youngme Moon dalam artikelnya “ Interactive Tecnologies and Relationship Marketing Stretegies “ mengupas 4 metode kustomisasi sebagai bagian dari marketing mix dalam lingkungan Internet yaitu Strategic Alliance; Personalization, Data mining and Colaborative Filtering serta Custumus Service.

Nomor 6

Perbedaan Antara B2B EC dan B2C EC

No. Karakterestik Platform B2C EC Platform B2B EC
1

Manajemen infomasi pembeli dilokasi pembeli untuk diintegrasikan dengan informasi korporat

- Informasi pembeli disimpan di server penjual.

- Mendukung tata buku terbatas.

- Biasanya mengguna

kan teknologi Web menggunakan thin client.

- Informasi pembeli harus disimpan di server pembeli untuk diitegrasikan dengan sistem informasi pembeli, seperti intranet, aliran kerja, dan ERP.

- Diperlukan tata buku yang lengkap.

- diperlukan teknologi Web dengan thieck client. Jawa dan external Helper Programs di PC klinen sangat diperlukan.
2

Comparison shopping dengan e-cart milik pembeli.

- Pelanggan harus mengunjungi banyak email.

-Setiap e-mail mewajibkan pelanggan untuk menggunakn shoping bag dan digital wallet yang sesuai.

- Software agent membantu proses pencarian.

- Setiap e-mail memiliki registrasi keaanggotaan

pelanggan.

- Arsitekur metamalls dibutuhkan pelanggan untuk mengurangi upaya mengunjungi banyak situs.

- Shopping bag dan digital wallet standar yang bisa bekerja secara independen dibutuhkan.

- Coparison shopping perlu diperlakukan sebagai dukungan keputusan kriteria berganda.

- Shared custumer membership diperlukan

Dalam rangka memungkinkan perbandingan berbagaie-mallsdengan regestrasi tunggal .

3

Pengiriman Just-In-Time.

- Ketersediaan tidak dipajang.

- waktu pengiriman tidak tepat waktu.

- Sistem pemesanan terpisah dari sistem sediaan

-Ketersediaan sediaan secara dinamis harus diinformasikan kepada pelanggan.

- Waktu pengiriman yang tepat harus secara dinamis dikonfirmasi kan pada saat pemesanan.

- Integrasi pesanan dengan sediaan, skedul produksi, dn sistem penjadwalan pengiriman merupakan faktor esensial.
4

Direktori berorentasi pembeli.

- Direktori berorentasi penjual lebih populer.

- Motivasi utama dari EC adalah promosi penjualan.

- Direktori berorientasi penjual dan berorientasi pembeli sama-sama dikembangkan.

- Bagi pembeli kelas kakap, direktori berorentasi pembeli harus ditawarkan.

- Motivasi tambahanya

Adalah merekayasa ulang proses akusisi.

-direktori perantara dibutuhkan untuk menkoordinasikan direktori berorientasi penjual pembeli.

5

Kontrak formal dengan proses tender.

- Pemesanan tanpa kontrak formal sudah cukup memadai untuk pemenuhan pesanan

- Protokol kontrak gratis.

- Versi elektronik dari tender dan lelang tradisonal diiplementasikan.

- Diperlukan kontrak formal dengan duokumen-dokumen elektronik yang mencakup pula persyaratan dan kondisi spesifik.

- Protokol kontrak yang syah harus dikonfirmasikan.

- Protokol kontrak yang lebih kreatif bisa dirancang.

6

Keputusan pembelian organisasional.

- Pembelian merupakan keputusan pembeli individual.

- Proses kepusan pembelian tidak membutuhkan koordinasi.

- Pembelian merupakan keputusan pembeli organisasional.

- Keputusan pembelian didasarkan pada kombinasi dari syinchronous group decision

7

Agent-based commerce.

- Individu terlibat secara interaktif dalam kepusan pembeliaan.

- Software Agent di situs tertentu mungkin tidak memahami norma agent mitra bisnisnya.

- Pembeli harus menjelajahi catalog produk penjual.

- Data mining penjual lebih popular.

- Software Agent s pembeli dan penjual membantu komunikasi untuk meminimisasi keterlibatan individu.

-Kesessuaian tipe kontrak yang saling disepati sangat diperlukan untuk membangun komunikasi yang harmonis di antara para agen.

- Agen penjual membantu proses konfigurasi berdasarkan spesifikasi kebutuhan pembeli.

- Data mining pembeli juga tak kalah pentingnya.

8 Pembayaran dalam jumlah besar secara aman

- Kartu kredit sangat popular, dimana biaya bagi penjual relative tinggi.

- Electronic chek dan Electronic Fund bakal poppuler. Biaya biasanya dibebankan pada pembeli. Faktor-faktor yang akan semakin menjadi perhatian adalah keamanan. Sertifikasi, dan non-rediation.

Wednesday, August 27, 2008

Marhaban ya Ramadhan, Wa- Ahlan

Sya’ban 1429 H /Agutus 2008 H

Marhaban ya Ramadhan, Wa- Ahlan

Assalamu’alaikum Wr Wb.

Menyongsong bulan Ramadhan 1429 H kami sekeluarga mohon maaf lahir batin agar dapat memasuki dan melaksanakan amalan bulan suci dengan hati yang bersih sebagaimana firman Allah :

Qod aflaha man zkkaahaa. Waqod khaaba man dessaahaa
“Sesungguhnya beruntunglah orang yang suka mensucikan dan memelihara jiwanya. Dan sesungguhnya celakalah orang-orang yang melalaikan dan mengotorkan jiwanya.”
Asy Syamsu : 9-10

Dan kami percaya Anda berkenan dengan ikhlas memberi memaafkan, karena kami meyakini, anda dan keluarga termasuk golongan yang tersebut daalam suci Al Qur’an seperti yang difirmankan Allah :

Wala kinnallooha habbaba ilaikunul iimaana wazayyananahuu quluu bikum ; wakarraha ilakunul kufra wal fusuqo wa ishyaana.
” Sebenarnyalah Allah menjadikanmu mencitai keimanan dan telah menghiasjan keimanan tersebut dalam hatimu; dan Allah telah menjadikanmu tidak mecukai kepada sifat kekufuran, kefasikan dan kedurhakaan.”
Al hujurat : 7

Sabda Nabi Muhammad SAW :
”Ramadhan bulan yang diberkati ; Allah Swt memerintahkan kita sekalian berpuasa didalamnya”.
(H.R. : Ahmad, An-Nasay dan Al Baihaqy dari Abu Hurairah)

Oleh karena itu marilah dengan ridha Allah kita saling maaf-memaafkan; semoga Alloh Swt memberikan ampunan, petunjuk dan ridha-Nya kita semua. Amin.

Wassalamu’alikum Wr. Wb.

t.t.d


Sutikno dan keluarga

Mengamankan Gagasan

SHOW stealer adalah sebuah istilah Inggris untuk menyebut orang yang doyan mencuri gagasan orang lain dan menaruh stempel namanya sendiri di atas gagasan itu.
Baru-baru ini sebuah yayasan bekerja sama dengan yayasan lain. Gaga-san dasar dan kerja lapangannya dilakukan oleh yayasan yang pertama. Tetapi ketika proyek itu diresmikan, ketua yayasan yang kedua lebih banyak berbicara dengan para wartawan. AIhasil, pemberitaan pers me¬nyebut seolah-olah yayasan yang kedua itulah yang punya peranan besar.
Kejadian semacam itu memang sulit dielakkan. Orang terkenal menjadi tambah terkenal karena dialah yang selalu membuat berita. Bob Hope masih bisa terus membanyol. Juga George Burns. Mereka terus tenar. Tetapi masyarakat tidak tahu siapa sebenamya yang menuliskan banyolan-banyolan yang dipanggungkan mereka.
Dalam show business hal seperti itu memang wajar dan selalu akan terjadi. Tetapi bagaimana halnya kalau terjadi dalam organisasi? Apalagi kalau hal itu menimpa Anda. Dalam sebuah pertemuan empat mata dengan Bos, Anda menyarankan agar para distributor diusahakan kredit modal kerja dari bank atas jaminan perusahaan. Dengan demikian, distributor itu akan merasa committed dan akan lebih giat menjualkan produk perusahaan "Gagasan yang bagus," kata Bos sambil manggut-manggut.
Sebulan kemudian Anda dipanggil Bos dan mendapat instruksi untuk melaksanakan proses pemberian kredit modal kerja itu. "Direktur Utama menyetujuinya," kata Bos datar. Anda melaksanakannya dengan gairah karena temyata gagasan Anda disambut oleh Direktur Utama.
Tiga bulan kemudian, dalam pesta ulang tahun perusahaan, Anda terkejut. Dalam pidatonya, Direktur Utama menyebut gagasan cemerlang Bos yang dinilainya sebagai usaha motivasi distributor paling berhasil.
Hidung Bos kembang kempis karena pujian. Ia duduk di deretan paling depan dengan minuman dan kue-kue di meja. Anda, pemilik gagasan cemerlang yang sedang dipuji itu, terbenam dalam kerumunan karyawan lainnya, menggenggam sebotol minuman dan sekantung plastik berisi lemper dan pukis.
Anda marah. Anda kesal. Anda kecewa. T etapi kepada siapa? Kalau Anda tidak ingin marah, kesal, atau kecewa lagi, maka Anda perlu melaku¬kan sesuatu untuk mengamankan gagasan cemerlang Anda dari kemung¬kinan dicuri orang. Bukan atasan saja yang bisa mencuri gagasan, tetapi bisa juga rekan sekerja atau bahkan bawahan Anda.
Gagasan memang bukan komoditi murah. Gagasan yang inovatif me-rupakan sesuatu yang mahal. Tirto Utomo menemukan gagasan mendiri¬kan pabrik air minum mineral dalam botol Aqua karena orang-orang asing yang dulu sering dibawanya banyak yang jatuh sakit perut gara-gara minum air yang kurang bersih. Ia menyimpan gagasan itu sampai ia mempunyai kesempatan untuk melaksanakannya. Ceritanya tentu akan lain kalau Tirto sudah menceritakan gagasannya itu kepada orang lain yang mungkin akan mendahuluinya.
Kalau tiba-tiba Anda mempunyai gagasan yang baile, catatlah segera dalam buku harian agar Anda tidak akan melupakannya. Pikirkan lagi gagasan itu baik-baik sebelum disampaikan kepada orang lain. Cobalah menuangkannya dalam struktur dan sistematika yang baik. Cara yang terbaik adalah melakukan hal itu di atas kertas, sehingga Anda lebih mudah melihat lubang-Iubang yang lupa diperhitungkan.
Ajukan gagasan pada kesempatan yang baik, misalnya rapat mingguan.
Dengan demikian, ada banyak saksi melihat bahwa Andalah pencetus gagasan itu. Bila terpaksa mengajukan gagasan secara empat mata, pasti¬kanlah untuk segera menuangkannya dalam bentuk memo atau dokumen tertulis lainnya. Kalau relevan, kirim tembusan kepada orang ketiga.
Bagaimana bila Anda menghadapi seorang atasan yang suka mencuri gagasan? Beri dia pelajaran. Ajukan gagasan yang secara sepintas tampak menarik, tetapi jangan lengkapi dengan data, hasil riset, atau kunci strategis lainnya. Kalau perlu jebaklah dengan data yang keliru. Atasan yang suka mencuri gagasan bawahannya adalah seorang yang tidak krea¬tif. Karena itu, ia akhimya akan terjebak dengan gagasan Anda, dan pada saat itu Anda dapat tampil sebagai juru selamat karena Andalah pemegang kunci strategis pelaksanaan gagasan itu.

( Sumber : BONDAN WINARNO dalam bukunya ” Seratus Kiat Jurus Bisnis ” )

Intrapreneur

GINO adaIah seorang pemuda yang baik dan disenangi orang. Sayang, IQ-nya tidak terIalu tinggi, sehingga selalu sulit mencari pekerjaan formal. Para pedagang di alun-alun lalu bersepakat untuk memberi Gino pekerjaan yang sesuai dengan tingkat kecerdasannya. Sekadar amal, un¬tuk saling berbuat baik bagi sesama.
Mereka lalu mengumpulkan uang dan membeli sebuah gerobak peng-angkut sampah untuk Gino. Tiap hari Gino memungut sampah dan mengangkutnya dengan gerobak itu ke tempat pembuangan. Untuk itu ia mendapat pula sekadar upah. Pekerjaan itu dilakukan Gino dengan baik. Tetapi, enam bulan kemudian, Gino tiba-tiba minta berhenti. Bukan karena ia ingin pekerjaan yang lebih "priyayi". "Saya menabung uang dan kini saya sudah membeli gerobak sendiri. Saya akan memulai usaha sendiri di bidang pembuangan sampah," katanya.
Dengan IQ yang rendah, Gino ternyata seorang wirausaha tulen. Kewirausahaan memang kegiatan yang kini tengah giat digalakkan seba¬gai altematif terhadap tekanan masalah ketenagakerjaan. Tetapi, nya¬tanya, semangat kewirausahaan juga merupakan ancaman terhadap em¬ployment. Begitu banyak perusahaan kehilangan pegawai terbaiknya yang memutuskan untuk berhenti bekerja dan memulai bisnis sendiri. Para entrepreneur sejati memang sulit hidup terkungkung dalam suatu perusaha¬an besar dengan struktur dan prosedur yang kaku.
Lalu, apa resepnya agar perusahaan tak perIu kehilangan pegawai?
Padahal, memadamkan semangat kewirausahaan justru akan memandul¬kan perusahaan. Semangat kewirausahaan para karyawan dalam per¬usahaan merupakan asset yang sama pentingnya dengan kemampuan teknologi, keterampilan memasarkan, dan keahlian manajemen.
Resepnya temyata sudah ditemukan. Tahun lalu majalah Time sudah menyebut-nyebut istilah intrapreneurship. Apakah intrapreneuring itu? Gifford Pinchot III, penemu gagasan ini, dalam bukunya yang berjudul lfttrapreneuringmenulis bahwa istilah itu sebetulnya merupakan kependek¬an dari intra-corporate entrepreneur. Mereka adalah orang-orang yang bekerja di dalam suatu perusahaan, tetapimelakukan sesuatu untuk perusahaan¬nya dengan risiko yang sarna seperti layaknya kaum wirausaha. Mereka mengambil risiko pribadi untuk mewujudkan cita-citanya dan gagasan bisnisnya dalam perusahaan temp at ia berstatus sebagai karyawan.
lntrapreneurship temyata merupakan jawaban yang cocok terhadap masalah bisnis tahun 1980-an. Perusahaan-perusahaan menjadi semakin besar dan komunikasi pun menjadi semakin berlapis-lapis. Sering kali sebuah gagasan baik tidak berhasil sampai ke telinga direksi karena struktur dan prosedur tersebut. Pencetus gagasan, yang tentunya menganggap bahwa gagasannya adalah yang terbaik, tentulah akan menjadi kecewa. Kekecewaan itu lalu disampaikannya kepada orang lain. Dan orang lain itu kemudian akan "menjual" gagasan itu kepada seorang pemodal. Maka, skenario berikutnya dapat kita duga. Orang itu "dibajak" untuk pindah dan mewujudkan gagasannya. Perusahaan yang "kena bajak" tidak saja kehilangan salah satu sumber dayanya yang terbaik, tetapi sekaligus juga kehilangan peluang untuk menghasilkan.
lntrapreneuring adalah sebuah sistem yang revolusioner untuk mengga¬lakkan pembaruan (inovasi) di dalam tubuh perusahaan. Persaingan yang semakin sengit pada masa kini hanya memberi dua kemungkinan bagi setiap usaha: melakukan inovasi, atau mati. Majalah The Economist yang terbit di London pada 1976 pemah juga mengajukan gagasan agar sebuah perusahaan menjadi semacam konfederasi dari para wirausaha. Tetapi, masalahnya, apakah sistem itu bisa berjalan. Mengapa seorang harus menjadi intrapreneur kalau sebetulnya ia juga bisa menjadi entrepreneur?
Awal persoalannya mungkin terletak pada modal. Menjadi seorang wirausaha menuntut modal untuk mewujudkan gagasan. Dan modal bukan merupakan sesuatu yang mudah didapat. Seorang intra-corporate entrepreneur adalah seorang karyawan yang diberi kebebasan, peluang, dan insentif untuk menciptakan dan memasarkan produk/jasa yang digagas¬nya. Perusahaan menyediakan modal dan sarana, kemudian keuntungan¬nya dibagi dua: untuk pencetus gagasan dan untuk perusahaan sebagai pemodaL
Dengan cetak biru semacam itu seorang entrepreneur tidak perlu keluar dari pekerjaannya ketika ia merasa mempunyai gagasan yang bisa diwu¬judkan untuk mencapai keuntungan. Ia tidak perlu repot-repot mencari modaL Ia juga tidak perlu repot-repot membangun citra perusahaan karena ia sudah memperoleh "sawah" dari nama besar perusahaan yang menggajinya.
Sebagaimana layaknya para entrepreneur, para intrapreneur pun selalu penuh dengan gagasan besar yang bila digabungkan dengan kekuatan sumber daya yang dimiliki oleh sebuah perusahaan akan merupakan kekuatan pencipta produk dan jasa baru yang akan memperkaya kehidup¬an manusia.

( Sumber : BONDAN WINARNO dalam bukunya “ Setatus Kiat Jurus Bisnis “

anak pejabat

ANAK pejabat itu berkata, "Saya seorang entrepreneur. "
Suaranya sopan: suara yang telah terbiasa dengan pergaulan yang rapi. Di balik T-shirt Polo Ralph Lauren warna merah terang, kulitnya bersih. Ada cambang tipis di pipinya yang lunak. Umurnya, saya taksir, belum lagi 30 tahun. Dia mengesankan sebagai pemuda yang baik, tapi saya tiba-tiba skeptis: Sudah pernahkah ia, dalam hidupnya, menerobos sesuatu? Memulai satu langkah usaha di jalanan panas, dengan kaki tanpa sepatu "K" yang kini dikenakannya dengan necis?
Tentu saja, sikap saya adalah sikap kuno yang datang dari pengalaman lain. Saya telah terlalu percaya kepada sejumlah pepatah (misalnya, "bersakit-sakit dahulu .... "), terlalu percaya kepada dongeng Horatio Alger, terlalu terkesima kepada kisah Pandawa yang 13 tahun hidup bermukim di hutan.
Saya ingat sejumlah ternan segenerasi yang datang dari udik yang tak keruan. Ada yang jadi mandor di pelabuhan dan dari sana memulai bisnis lalu akhirnya kini jadi eksportir besar. Ada yang membuka hidupnya dengan menjadi penyabit rumput, atau pembantu tukang sate, atau pembantu toko kembang ¬dan dari sana naik jadi kisah-kisah sukses yang mengesankan.
Saya selalu merasa, merekalah juara hidup yang sebenarnya.
Mereka biasa naik kendaraan umum yang seperti kandang ayam.
Mereka biasa makan bersama tukang becak, dengan menu sayur tempe yang cair & peyek ikan teri yang telah tiga hari selalu digoreng kembali. Mereka bisa menyelinap ke pasar loak - dan menjual kumpulan buku dan baju bekas, buat membayar bon makan mereka. Mereka tak punya tempat merengek. Mereka malu untuk kembali mengetuk pintu rumah. Si bapak tak punya "koneksi". Tak ada perlakuan istimewa untuk dapat jabatan ataupun hak monopoli.
Tapi (menurut sebuah pikiran saya yang tak orisinal) merekalah benih penting bagi masa seguyah kini: benih para jagoan Schumpeterian. Benih para entreprenuer yang sebenar¬nya - sebuah kata yang telah diterjemahkan menjadi "wiras¬wasta", yang artinya berani bekerja dengan tangan dan kaki sendiri, meskipun tak selalu dengan uang tabungan sendiri.
Pikiran saya memang sedikit kuno dan klise, bukan? Ia berasal dari setengah abad yang lalu, ketika Joseph Schumpeter menuliskan teori perkembangan ekonomi dan siklus bisnisnya tanpa bermaksud menyindir anak pejabat yang mana pun. Dia sendiri bukan tipe wiraswasta. Orang kelahiran Moravia ini juga anak pejabat: bapak tirinya seorang perwira tinggi Austro-Hungaria. Hampir seluruh hidupnya beredar di kalang¬an akademis.
Tapi Schumpeter tahu tentang riwayat kehidupan ekonomi yang tak pernah mulus. Baginya, perkembangan ekonomi tidaklah seperti yang dita.mpilkan kaum neo-klasik, yang membayangkan suatu proses yang bertahap serta harmonis. Tiba-tiba saja sebuah perekonomian yang ditopang oJeh industri baja atau minyak bisa terguncang ekuilibriumnya, rontok, karena sejumlah pen emu an baru terjadi, yang me¬nyebabkan produk dan teknologi yang semula ada menjadi kolot. Suatu keadaan lesu pun berlangsung, hingga suatu penemuan baru nanti membantu membereskan puing-puing kerontokan industri yang sudah senjakala itu.
50 tahun setelah Schumpeter bicara, dan di sana-sini dikritik, lalu agak dilupakan, penemuan-penemuan baru terjadi dengan deras. Perubahan berlangsung cepat, makin cepat. "Di Laman sekarang orang bisa tersohor cuma selama 5 menit," kata mendiang Pelukis Andy Warhol, dan rasa-rasanya begitu pula setiap ekuilibrium. Masyarakat pun akhirnya memang harus punya sejumlah orang yang be rani tampil menghadapi perubah¬an yang membawa ketidakpastian itu.
Merekalah para entrepreneur. Mereka be rani ambil rislko.
Mereka bukan manajer. mereka bukan pernilik kekuasaan. mereka bukan pernilik uang. Bahkan rumus bisnis yang akhirnya berlaku adalah BO+ DOL: Berani Optimistis plus Duit Orang Lain. Dalam visi Schumpeterian, suatu sistem perbankan yang menyediakan kredit merupakan eJemen penting bagi kehidupan para wiraswasta yang seJalu menggun¬"ang maju perekonomian itu.
Tapi Schumpeter pagi-pagi bilang "hati-hati". Kapitalisme .lkan macet, dan demikian pula gerak perkembangan ekonomi. pada saat entrepreneur kehilangan perannya. Misalnya kctika wnsentrasi bisnis jadi begitu besar dan sang pemilik modal tak lagi hadir dan mempertaruhkan nasibnya. Di dalam bisnis yang seperti itu - yang kini sudah mulai tampak di Indonesia - yang berperan akhirnya para manajer, penerima gaji dan bonus, yang sering kali bisa meloncat ke perusahaan lain bila angin sedang berubah. "Akhirnya", kata Schumpeter, "tak seorang pun yang tinggal yang benar-benar peduli untuk mem¬bela .... "
Tak seorang pun? Kini saya tatap sekali lagi anak pejabat di depan saya itu, tapi ternyata dia segera pergi. Langkahnya kukuh. Tiba-tiba saya berharap dia memang seperti yang dikatakannya: seorang entrepreneur, bukan balon warna-warm.

( Sumber : GUNAWAN MUHAMAD dalam bukunya “ Catatan Pinggir 3 “

Kerja itu Siksa?

ADAsebuah tulisan lucu pada kaus kutung: I am allergic to work. Kerja, nyatanya, memang membuat banyak orang alergi. Jalam bahasa Prancis, kerja adalah travail yang diderivasikan dari bahasa Latin trepalium. Trepalium itu sendiri temyata adalah alat yang terdiri atas tiga lapis dan dipakai untuk menyiksa seseorang. Jadi, kerja itu adalah siksaan tersendiri.
Para workaholics pun, yang obsesinya adalah kerja-kerja-kerja, engakui bahwa bekerja bukanlah sesuatu yang ringan dan sepele. Beratnya kerja bukan saja karena seseorang harus mengeluarkan tenaga untuk melakukannya. Orang-orang yang bekerja dengan otaknya bahkan sering berkata bahwa kerja otak lebih berat. Berpikir dalah kerja keras. Membuat keputusan adalah kerja keras. Bahkan berpikir tentang kerja itu sendiri pun sudah berat.
Berpikir atau kerja otak diperlukan untuk memecahkan sebuah dilema. Karena itulah pekerjaan ini berat. Kalau tak ada dilema, kita tentu tak memerlukan kerja otak ini. Adakah yang tak dapat :ikatakan sebagai dilema dalam iklim bisnis? Hampir tak ada, bukan? menentukan tempat makan siang saja sering kali harus diputuskan ; setelah tujuh keliling.
Ambillah organisasi sebagai sebuah contoh. Sebuah organisasi, menurut teori, harus memenuhi empat kriteria: sederhana, lengkap¬ terpadu, pragmatis, dan mempunyai komunikabilitas. Sebuah organigasi disebut sederhana bila tak terjadi tumpang tindih ¬apalagI redundancy - dalam sistemnya. Sebuah organisasi dikatakan lengkap clan terpadu bila semua pekerjaan yang harus diselenggara¬kan dapat diselesaikan.
Tetapi, semakin lengkap organisasi itu, semakin kompleks juga jadinya. Derajat kelengkapan, karenanya, berbanding laros dengan derajat kompleksitasnya. bila ingin organisasi yang sederhana, kita menghadapi kemungkinan konflik yang lebih kecil, dan besar pula kemungkinan akan banyaknya pekerjaan yang tak terselesaikan.
Nah, sebuah dilema di depan mata. Kriterianya benar, tetapi di dalamnya temyata ada "jebakan". Dilema lain yang sering ditemu¬kan dalam organisasi adalah tentang delegasi. Bagaimana, sih melakukan delegasi itu? Apakah sebaiknya delegasi dilakukan menur, m uti jenis produk, atau mengikuti fungsi? Ini adalah pertanyaan yang sudah bertahun-tahun dihadapi para manajer.,
Dalam buku Zen and Creative Management, Albert Low menulis: memang sulit membuat struktur organisasi yang memungkinkan semua karyawan, khususnya para spesialis, dapat melakukan pekerjaan dengan efisiensi dan produktivitas maksimum. T anda tanya terbesar, menurut Low, adalah bagaimana membuat orang¬orang itu cocok dalam "kotak"-nya.
Lalu, apakah para spesialis yang mempunyai fungsi-fungsi tertentu harus dikelompokkan di bawah satu bos yang tertentu pula? Tanpa meninjau jenis atau kekhususan produk yang ditanganinya? Atau, sebaliknya? Apakah para spesialis dengan fungsi berlainan dikelom¬pokkan menjadi satu dalam produk spesifik yang ditanganinya?
Mereka yang menganut organization by function tentu akan bersikeras mempertahankan pengelompokan karyawan berdasarkan fungsinya. Penganut paham ini berargumentasi bahwa organization by function akan memberi kemungkinan yang lebih besar untuk produksi massa dan mudah diatur dalam rangka efisiensi. Sistem ini juga memberi kemungkinan penyerapan yang lebih cepat dari teknologi baru karena pengelompokan spesialisasi dan divisi kerja dapat dilakukan dengan mudah.
Sebaliknya, penganut organization by product berpendapat bahwa sistem inilah yang dapat memberikan koordinasi maksimum. Dengan sistem ini para karyawan dalam kelompok itu lebih dapat memusatkan perhatian pada suatu produk tertentu secara holistik.
Temyata, dilema tentang pengorganisasian atas dasar fungsi dan produk itu juga membawa dilema yang lebih mendasar. Yaitu bahwa spesialisasi berbeda dengan integrasi. Spesialisasi justru. cenderung harus dilakukan dengan terlebih dulu melakukan diferensiasi ¬pemilah-milahan berdasarkan spesialisasi.
Sedangkan integrasi, sebaliknya, melakukan penyederhanaan terhadap pekerjaan yang dilakukan. Diferensiasi pada dasarnya mengakibatkan konflik. Sedangkan integrasi melahirkan teamwork. Sayangnya, teamwork sering kali membuahkan hasil yang kurang disukai, yaitu: complacency - rasa puas karena menyangka pekerjaan
telah diselesaikan dengan baik.
Demikianlah, telah terbukti begitu banyak dilema yang dihadapi dalam konteks bisnis. Pilihan atas suatu dilema bukan merupakan akhir, karena ia membuka dilema-dilema baru yang harus dipecah¬kan. Dan karena itu kita dituntut untuk terus berpikir. Dan karena berpikir adalah kerja berat yang melelahkan, siapkan diri baik-baik untuk menghadapinya.
uiet life is just not for businessmen.

( Sumber : BONDAN WINARNO dalam bukunya “ Seratus Kiat Jurus Bisnis “

Katakanlah tentang Produktivitas

PENDIDlKAN memang makin menjadi kelaparan umum. Bukan karena demam, tetapi karena betul-betul dirasakan kebutuhannya. Seorang tentara, misalnya, harus selalu mengikuti proses pendidikan dan pelatihan hampir pada tiap kenaikan pangkat. Demikian pula halnya di bidang manajemen. Orang perlu mengikuti proses itu pada tiap jenjang yang dinaikinya.
Terlebih lagi karena dalam "ilmu" manajemen ini sedang terjadi daur evolusi yang bergerak dati manajemen scientific (Taylor), lalu ditumbuhkan perhatian manajemen terhadap karyawan (Hawthor¬ne), ditambah lagi dengan pemerhatian terhadap kebutuhan karyawan (Maslow), kemudian menjadi konsep job satisfaction (Herzberg). Kini konsep itu berubah lagi. Semua orang sekarang berbicara tentang produktivitas ..
Maka, katakanlah padaku tentang produktivitas, jetit seorang manajer. Dan setiap orang pun lalu menggambarkan sosok-sosok yang berlainan untuk satu hewan yang sama. Semen tara kita sadar bahwa kebutuhan manajemen telah berubah, tetapi kita belum cepat melakukan perubahan pada kutikukum pendidikan dan pelatihan manajemen. Padahal, seharusnya setiap pelatihan manajemen mencerminkan kebutuhan. Ketika kita semua sedang menuju peningkatan produktivitas, jangan-jangan jenis pelatihan yang kita lakukan hanya mempersiapkan manajer-manajer kita untuk meme¬cahkan persoalan masa lalu.
Produktivitas tentu saja harus dimulai dati tingkat manajer. Artinya, para manajer justru yang harus lebih dahulu mendapatkan pelatihan tentang produktivitas. Di beberapa negara yang telah menerapkan konsep ini, bahkan telah terbentuk komisi produktivitas pada tiap perusahaan.
Kenyataannya, pada saat ini jenis pelatihan untuk para mana justru lebih banyak menjurus kepada hal-hal yang sifatnya lun; seperti: komunikasi, teknik penyajian, interpersonal skills. Jarang sek kita melihat kurikulum pelatihan untuk manajer yang sifatnya leb keras, seperti: peningkatan metode, kendali produktivitas, alok: dan penjadwalan bahan baku, penjadwalan kerja, dan
penyederhanaan kerja.
Ada juga pelatihan yang sebenamya sudah memasukkan hal-hal keras tersebut dalam kurikulanya, tetapi tidak benar-benar mendapat pendalaman, atau bahkan hanya dijelaskan secara sekilas saja. Ini berarti bahwa setelah pelatihan, para manajer tidak memperoleh hal baru yang dapat langsung dapat diterapkannya ke dalam situasi kerja
Tidaklah berarti bahwa para manajer tidak memerlukan ketarampilan lunak, seperti komunikasi dan interpersonal skills. itu. Tetafpi hal-hal itu hanyalah proses pendukung ke arah sumbu utarr upaya-upaya teknis untuk mencapai perbaikan mutu dan penghematan biaya.
Evolusi pendidikan dan pelatihan manajemen tampaknya selalu ketinggalan selangkah dibanding kenyataan yang justru sedan berlaku dan berubah dalam pengelolaan itu sendiri. Segi-segi tekni yang pada beberapa dekade yang lalu justru memperoleh penekana dalam pelatihan, kini telah mulai tergeser dengan segi-segi nontd nis. Dan: ketika hal-hal teknis itu diperlukan dalam situasi kerj, kurikulum belum lagi siap menjawabnya.Jangan-jangan bahkan pad saat ini kita sudah akan mengalami kesulitan untuk menemukal tenaga-tenaga pendidik dan pelatih di bidang ini. Ini tentu tidal akan terlalu mengherankan karena kita memang sudah agak lam. membengkalaikan segi teknis ini.
Satu "kesalahan" lain yang juga sering terjadi dalam pelatihal adalah bahwa lebih banyak hal yang bersifat umum, kuranl memperhatikan kebutuhan-kebutuhan spesifik pada suatu situas kerja tertentu. Banyak juga orang berkecenderungan menjejal kurikulum suatu pelatihan dengan
begitu banyak ihwaI, tetap masing-masing hanya sempat dibicarakan secara dangkal.
Tidak pula sepenuhnya benar bahwa kurikulum yang sarat dar dalam tentang hal-hal teknis peningkatan produktivitas adalah yang dibutuhkan oleh para manajer. Para manajer adalah orang-orang yang terbiasa bekerja dengan sistem. Karenanya, setiap upaya peningkatan produktivitas dan penghematan biaya haruslah dide¬kati secara sistem.
Lalu? Akan banyak yang mungkin memilih jalan pintas. Cari saja konsultan yang dapat memberikan bimbingan tentang pelaksanaan peningkatan produktiVitas. lni memang telah banyak dilakukan. Tetapi, dari begitu banyak pengalaman ten tang konsultan produkti¬vitas, ada satu hal yang perlu dipertimbangkan: hal itu hanya membuat para manajer Anda tidak lagi mengelola. Mereka hanya menumpukan pada sang konsultan.

( Sumber : BONDAN WINARNO dalam bukunya ” Serartus Kiat Jurus Bisnis ” )

Etika Bisnis

ETIKA bisnis, kata seorang Yahudi kepada anaknya, adalah hal ang paling penting. Di atas segalanya. "Beri aku sebuah Ayah, supaya aku paham maksudmu," kata anaknya.
” Baru saja kualami tadi pagi," kata ayahnya. "Seorang pembelidatang mengambi! jaket kulit seharga seratus dolar. Kuterima pembayarannya sambi! mengucap terima kasih. Lalu, kubungkus jaket dengan rapi dan kuantar dia hingga ke luar pintu. Setelah masuk kembali, barulah kusadari, temyata yang diberikannya padaku bukanlah selembar seratus dolar, melainkan dua lembar.
" Disitu etika bisnis lalu muncul sebagai masalah?" sela anaknya.
” betul ” potong ayahnya. "Masalahnya adalah: apakah aku harus memberitahu mitra bisnisku atau tidak."
Etika bisnis memang kini jadi lelucon belaka. Soalnya, siapa sih yang mau menatatinya secara mumi? Wall Street Journal baru saja memuat karangan seorang redaktumya, Robert L. Bartley, "Business d Ethics Business". Apakah kita sedang hidup dalam abad keambrukan moral? ltulah yang dipersoalkan tulisan itu.
Kita justru sedang hidup dalam kefanatikan moral. Paling tidak, itulah yang menghiasi mulut kita. Orang mengutuk praktek inside tranding yang banyak terjadi ketika ramai-ramainya perusahaan yang mengambi! alih saham perusahaan yang lain.
Orangkembali mendambakan masa-masa seperti abad pertengah¬ ketika motif keuntungan dipertentangkan dengan konsep noblese oblige . Ketua SEC (Securities and Exchange Commission) di Amerika Serikat bahkan rela menghibahkan dana sejumlah US $ 30 juta kepada sekolah bisnis di Boston untuk secara khusus mengajarkan etika bisnis sebagai mata kuliah terakhir. Dan etika bisnis memang lalu jadi topik masalah yang menggejala pada pidato-pidato wisuda mahasiswa sekolah bisnis di Amerika Serikat.
Bisnis selama ini memang selalu dicurigai sebagai sebuah lembaga yang hanya bergerak karena adanya ketamakan untuk menghasilkan keuntungan. Padahal, dalam bisnis yang sesungguhnya, keuntungan justru merupakan biaya untuk melanjutkan usaha. Keuntungan dipakai untuk menumbuhkan usaha baru yang menciptakan lapangan pekerjaan baru, atau dipakai untuk membayar dividen sebagai penghargaan terhadap orang yang telah menanamkan modalnya - ini pada akhirnya justru akan menarik pen an am modal baru.
Bahwa etika bisnis dibicarakan secara hampir obsesif, tentulah karena situasinya memang sudah hancur-hancuran. Bisnis telah terlibat jauh dalam perdagangan senjata secara gelap-gelapan, atau menyediakan dana untuk gerombolan orang bersenjata yang hendak menggulingkan sebuah pemerintahan. Bisnis telah menemukan atap-atap yang am an untuk melindungi uangnya dari pemajakan di beberapa negara kecil atau kepulauan tertentu. Bisnis telah menemukan cara untuk menembus sistem kuota agar mereka tetap dapat menjual volume yang membebani persediaannya. Bisnis telah membuat berbagai tali-temali dengan penguasa untuk memperoleh sebuah pasar yang terjamin.
Di Amerika Serikat,. kaum bisnis tidak berani Iagi berbuat tak etis kepada konsumennya. Mereka telah lama belajar, mengurangajari konsumen berarti bunuh diri. T etapi, untuk tetap mempertahankan bottom line yang baik, ada berbagai masalah internal yang Iantas menjadi kurang etis. Keputusan manajemen tentang nasib karya¬wannya menjadi masalah etika yang dalam era "re-inventing the corporation" ini merupakan pertimbangan utama.
Di Indonesia, etika bisnis mungkin malah tampil dalam bentuknya yang Iebih rumit daripada di Amerika. Ia harus menghadapi pemerintah, yang, selain merupakan pihak pengatur, sekaligus juga merupakan konsumen terbesar. Dapatkah Anda bayangkan sebuah perusahaan komputer yang 80% bisnisnya bergantung pada pemerintah dan tetap memegang etika untuk tidak memberikan komisi dalam bentuk apa pun kepada oknum yang menentukan pembelian itu? Seorang eksekutif perusahaan besar di Indonesia berkata, "Memang itu membuat hidup kami lebih sulit. Tetapi, kami bangga tidak ikut melakukan hal itu." la bangga karena ia menjadi perkecualian - menjadi satu dari sedikit pohon putih dalam rimba yang hitam.
Tidak ikut "menipu" konsumen pun menjadi godaan berat bagi pengusaha kita. Masyarakat, yang sebagian terbesar kurang eanggih dalam memiiih, masih terlalu mudah diyakinkan pada produk-pro¬duk substandar.
Berbuat tak etis terhadap karyawan merupakan hal yang sarna mudahnya. Padatnya antrean di luar lapangan kerja membuat mereka yang telah memperoleh pekerjaan tetap bertahan, sekalipun dalam kondisinya yang buruk.
Tetapi bukankah sejarah telah membuktikan bahwa mofalitas yang kaeau mengandung bahayanya sendiri? Sebaliknya, fanatisme terhadap moral membuat orang kelupaan bahwa sasaran sesung¬guhnya adalah mencari pimpinan bisnis yang unggul dalam segala hal, bukan cuma juru doa.

( Sumber : BONDAN WINARNO dalam bukunya ” Seratus Kiat Jurus Bisnis”)

Bos, Sudah Fagi, Nih !

HARl Ibu baru saja lewat. Seharusnya kita hormat-hormatlah pada wanita. Lelucon dalam bahasa Inggris ini memang agak kelewatan mencandai wanita : Apakah bedanya antara seorang nice secretary dengan seorang good secretary? Seorang good secretary akan menyampaikan salam, "Good morning, Boss!" Sedangkan seorang nice secretary akan berkata, "Boss, it's morning!" Mungkin sambil tergopoh-gopoh bangun. Ha-ha! Sudah tahu letak lucunya, bukan? Jelasnya: bos tidur di sebelah sekretaris dan ke¬siangan bangun.
Tetapi affair antara bos dan sekretaris temyata sudah soal kuno. Karena sekarang wanita-wanita cantik yang berada di kantor-kantor bukan lagi sekadar sekretaris atau juru ketik. Sudah makin banyak eksekutif wanita dalam dunia bisnis sekarang. Cantik, mempunyai gaji yang cukup untuk membeli pakaian semarak dan mendukung kehidupan yang comfortable, - cerdas, serta lancar bergaul. Kelompok ini memang telah menciptakan panggung cinta tingkat tinggi dalam bisnis masa kini.
Situasi ini didukung pula oleh kenyataan banyaknya eksekutif pria di atas 40 tahun yang sudah sip kedudukan dan gajinya, tetapi telah kehi¬langan kemesraan dengan istrinya yang dinikahinya dulu ketika dia masih "belum apa-apa". Ketika dia masih seorang salesman dan istrinya masih bisa menanggapi pembicaraan ten tang kegagalannya menjual mesin es krim kepada toko di sudut jalan itu.
Tetapi sekarang ia vice president dan istrinya jadi tidak mengerti mengapa suaminya bicara tentang bisnis jutaan dolar, tetapi masih mengomel kalau istrinya minta tambahan 20 dolar. Dulu ia memang menjadi ragu ketika pada pemikahannya penghulu bertanya, "Peter, apakah kau berjanji akan mencintai istrimu lebih daripada koran pagi?" Sekarang bukan lagi koran pagi yang menggodanya untuk turun dari ranjang meninggalkan istrinya. Tetapi seorang penasihat hukum perusahaannya yang cantik dan selalu menunggu untuk bersama-sama makan pagi di hotel berbintang lima.
Apa sebenamya yang menjadi pelatuk bagi kejadian-kejadian seperti ini? Mall is forced to be alone by the very nature of society, tulis Susan Polis Schutz yang banyak menulis untuk kartu-kartu ucapan. Semakin tinggi keduduk¬an seseorang, akan semakin sendirian dan kesepian dia. Kamamya semakin besar, dan di situ dia akan semakin terpuruk dalam kesepian yang menggigit.
Beberapa tahun yang lalu ada sebuah buku yang cukup laris di Amerika, berjudul Lonely in America, karangan Suzanne Gordon. Mana bisa orang menderita kesepian di Amerika yang selalu berdegup dan berdenyut kencang itu? Jawabnya mungkin bisa kita temukan di Time Square, karena di situ adalah terminal orang-orang kesepian yang mencoba me¬nemukan makna eksistensinya.
Beberapa hari yang lalu kita pun sempat membaca tentang seorang pria Inggris yang selama dua tahun berhasil mengelabui istrinya bahwa sebe¬namya ia telah dipecat karena korupsi. Tiap pagi ia bangun dan pergi ke stasiun. Tetapi, dua jam kemudian, setelah istrinya pun pergi ke kantor, ia menyelinap pulang ke rumah untuk menyensur surat-surat yang datang. Lalu ia menyembunyikan surat-surat tagihan yang diakibatkan oleh ko¬rupsinya. Kemudian ia kembali ke stasiun menunggu sore, sebelum me¬langkah pulang ke rumah.
Suzanne Gordon dalam bukunya itu menulis bahwa kaum pria tidak mempunyai banyak pilihan untuk menumpahkan kesulitan yang sedang dihadapinya. Bahwa pria diam tidaklah berarti bahwa ia tidak merasakan sakitnya impitan kesulitan itu. Dan itu membuatnya merasa kesepian. Seorang istri mengeluh karena suaminya tidak lagi bisa berkomunikasi dengannya. Tetapi suaminya membantah, "Lho, kemarin sore 'kan saya berbicara tentang sofa yang baru kau beli. Dan bahwa aku tak suka wamanya serta harganya yang agak kemahalan." Si istri tampaknya mem¬punyai suami, tetapi sebetulnya ia tidak punya siapa-siapa.
Dalam dunia yang penuh persaingan, seorang pria eksekutif harus berada di atas segalanya: pekerjaannya, kariemya, dan perasaannya. Bila ia mempunyai masalah di atas sana, sering kali ia tidak menemukan siapa pun yang dapat mendengarkan pengakuannya. Sebab, mengakui kele¬mahan berarti berisiko kehilangan karier yang selama ini dibina.
Dan dalam kesepian itulah seseorang mudah terpana akan kehadiran seorang wanita yang mampu mengerti kesulitan-kesulitan seorang ekse¬kutif puncak. Tetapi wanita itu tidak lebih dari a pillow to cry on
Seorang eksekutif puncak harus mampu mengatasi kesendiriannya dengan kebersamaan dalam tim manajemennya. Karena pseudotogetherness -
Kebersamaan yang palsu – adalah kesepian yang mencekam.

( Sumber : BONDAN WINARNO dalam bukunya ” Seratus Kiat Jurus Bisnis ” )

Duren Petruk

Bu Jeksa yang satu ini bukanlah istri Pak Jaksa. la dipanggil . demikian karena tak bisa berjalan tegak, mlaku jejeg ora bisa. Rematik membuatnya lebih sering berjalan bungkuk.
Wanita setengah baya ini terkenal di kalangan tertentu. Ia berjualan durian di rumahnya, tepat di jalan masuk Kota Jepara. Ternan yang mengajak saya ke sana berkata, "Durian Bu Jeksa tak ada yang salah, deh. Top semua."
Lalu, "Ada duren petruk, Bu?" tanya ternan saya. Duren petruk adalah durian kelas wahid di daerah Jepara situ. Jenis durian unggul lainnya dikenal dengan nama duren japara mungkin jenis khusus yang dikembangkan oleh Pak Jafar.
Bu Jeksa tak menjawab pertanyaan itu. Tertatih-tatih disengat rematik, ia menggelindingkan puluhan durian ke emper rumahnya. Bagian dalam rumah, rupanya, telah menjadi gudang durian. Ia langsung saja membelah sebuah. Luar biasa enaknya. Dalam sekejap kami telah menghabiskannya. Durian kedua pun dibuka. Wah, lebih enak lagi. Durian ketiga lebih menyengat - kuning, kering, dan agak pahit karena kandungan alkoholnya. Bijinya kecil dan dan kempis. Durian ini pun kami sergap dengan lahap.
Kekenyangan makan durian, saya bertanya. "Lalu, yang mana petruk dan yang mana japar?" Bu Jeksa menjawab, "Hayaaah, tak ada petruk tak ada japar. Pokoknya, ini durian enak. Kalau saya bilang ini petruk atau itu japar, saya bisa saja berbohong. Tetapi, kalau saya bilang ini durian enak, saya kan tak berbohong?"
Bu Jeksa pasti tak pemah membaca Shakespeare. Tetapi, bukankah ucapannya itu tadi begitu mirip dengan kalimat Shakes¬peare, What's in a name? That which we call a rose, by any other name would smell as sweet? Memang, kebijaksanaan acap kita temukan secara mengejutkan, mencuat begitu saja dari suatu kesederhanaan. Dan membuat kita terkesima.
Bukankah kita sendiri - yang sudah belajar berbagai teori modern - sering lebih mementingkan nama daripada spesifikasi? Mengapa kita risau bila mobil kit a bukan Mercedes Benz? Tapi kita tidak risau, bila ternyata mobil bagus dan mewah itu tidak cukup lapang untuk memuat seorang istri dan empat anak kita? Kita risau bila dasi kita bukan Etienne Aigner, sekalipun kita sebenarnya sadar bahwa dasi yang termahal pun tak dapat menyembunyikan leher kita yang pendek dan dagu yang tak terbentuk.
Kebiasaan seperti itu sering pula menghinggapi mereka yang bekerja di bagian pembelian, maupun para pemimpin bisnis, khususnya, dalam memutuskan pembelian barang yang akan dipakai dalam aktivitas usahanya. Panitia pembelian sering lupa merumus¬kan terlebih dahulu, spesifikasi barang yang akan dibelinya, karena sudah lebih terpengaruh akan merk tertentu yang sudah beken. Kunjungan wiraniaga yang pintar "jual koyok", atau menawarkan berbagai hadiah, sering membuat pejabat pembelian "lupa" akan spesifikasi barang yang akan dibelinya.
Bahkan ada indikasi bahwa sebagian dokter mulai sedikit abai terhadap spesifikasi obat untuk pasiennya. Mereka sudah terpukau akan obat merk tertentu, yang paling ampuh untuk mengobati penyakit tertentu. Apalagi kalau dokter bersangkutan sudah menerima kartu kredit atau sponsor ship untuk menghadiri satu konferensi medis di luar negeri - tingkat keampuhan obat merk sponsor itu bisa lebih tinggi.
Merk, terutama bila ia sudah menjadi generik. memang mempu¬nyai sisi yang menguntungkan bagi pemiliknya. Tetapi, tidak untuk konsumen. Pembeli yang bijak sebenarnya justru pembeli yang tidak peduli pada merk, tapi mementingkan spesifikasi. Keterikatan pada satu merk akan membuat merk lain diperlakukan secara tidak adil.
Coba pakai spesifikasi ini: kendaraan bermotor roda empat, 2.000 cc, memakai pengatur hawa dingin, pemakaian bensin 1:10, rem cakram, persneling otomatik. harga Rp 40-50 juta. Jelas, tak hanva satu merk mobil yang akan masuk kriteria itu. Merk apa pun yang kemudian terpilih, ia tentu memenuhi syarat teknis unn:•• kebutuhan yang tepat.
Tidak selamanya nama besar membawa tuah, memang. Seorang kawan yang mengageni sebuah nama besar dunia pemah mengeluh, "Mungkin saya harus menunggu nasib baik pada kabinet yang akan datang. Di kabinet yang sekarang, nama besar kami justru mengakibatkan sikap bias." la telah diperlakukan tidak adil karena merk. Padahal, sebenarya, ia tak usah mengalami nasib sesial itu seandainya spesifikasi produk merupakan pedoman pembelian.
Philip Kotler menulis bahwa a product is something that is bought to satisfy a need. Yang kita beli sebenaryakan bukan bor, tetapi sesuatu yang bisa melubangi sesuatu. Dan karena itu setiap kali kita akan membeli produk, kita harus terlebih dahulu merumuskan kriteria kebutuhan yang akan kita puaskan itu.
Setidaknya kalau Anda kebetulan ke Jepara pada musim durian, maka Anda tidak perlu mencari duren petruk atau duren japar, tapi carilah rumah Bu Jeksa. Di sana bisa ditemukan durian unggul yang tanpa nama - tapi dijamin enak oleh Bu Jeksa.

( Sumber : BONDAN WINARNO dalam bukunya ” Seratus Kiat Jurus Bisnis ” )

Sun Tzu dan 150 Selir Raja

SUN Tzu adalah seorang jenderal Tiongkok yang lihai. Ia menulis buku tentang strategi perang, yang menjadi best seller pada zamannya. Bahkan, hingga sekarang buku itu masih dibaca orang. Kaisar sangat terkesan oleh kepiawaian Sun Tzu, lalu memerintahkannya untuk menghadap.
"Long Live The Emperor!" seru Sun Tzu takzim ketika tiba di hadapan Kaisar. "Coba buktikan teori-teorimu tentang penyiasatan dengan mengatur para selirku," titah Kaisar.
Sun Tzu tahu, Kaisar pusing mengatur ke-150 selirnya yang tak disiplin. Sun Tzu bersedia melakukan titah Kaisar. Syaratnya: Kaisar harus memberikan wewenang penuh kepada Sun Tzu untuk melakukan apa saja yang dianggapnya perlu. Kaisar, yang sudah tiba pada puncak kepusingannya, tak keberatan dengan syarat yang diminta itu.
Sun Tzu berpendapat bahwa disiplin bisa ditanamkan melalui pelajaran baris-berbaris. Ia pun tahu bahwa mengajar 150 orang selir sekaligus untuk baris-berbaris adalah sebuah tragedi. la lalu memilih tiga orang selir yang paling dikasihi Kaisar. Ketiga orang itulah yang kemudian dididiknya secara khusus untuk menjadi pelatih baris ¬berbaris.
Setelah dianggapnya cukup, ketiga selir itu dimintanya melatih pasukan selir yang telah dibagi menjadi tiga kelompok. Dapat diduga, acara itu segera berubah menjadi kekacauan besar. Ketiga pelatih maupun semua peserta hanya cekikikan di lapangan, dan mereka sengaja membuat kesalahan-kesalahan untuk meledakkan tawa yang lebih besar.
Sun Tzu lalu membubarkan barisan, dan memanggil ketiga selir tersayang itu. "Begini, Nyonya-nyonya. Saya adalah orang yang percaya bahwa bila saya gagal menurunkan suatu ilmu, artinya saya tak berhasil menjelaskannya dengan baik. Karena itu, prosesnya harus saya ulangi sekali lagi."
Lalu proses yang membosankan itu pun diulangi. Sun Tzu menyampaikan pelajarannya lebih lambat, lebih terinci, lebih jelas. Ketiga selir mengikuti pelajaran sambil menguap lebar-lebar, dan sesekali berbisik-bisik sesamanya.
Pelajaran baris-berbaris untuk semua selir pun diselenggarakan kembali. Persis sarna dengan yang pertama, acara itu pun berantakan. Sun Tzu, sekali lagi, membubarkan barisan.
"Nyonya-nyonya," kata Sun Tzu dengan sabar, di depan tiga selir utama. "Kalau kekeliruan temyata telah terjadi lagi, maka saya pikir kesalahannya terletak pada Nyonya-nyonya dalam menyerap dan menyampaikan kembali pelajaran itu. Sekarang saya beri kesempatan sekali lagi kepada Nyonya-nyonya untuk melatih baris-berbaris secara baik dan penuh disiplin. Sementara itu, bila ada hal-hal yang belum jelas, silakan bertanya sekarang."
Ternyata, tak ada yang bertanya. Ketiganya menyatakan bahwa baris-berbaris adalah urusan gampang. Mereka juga meremehkan Sun Tzu sambil menyanggupi bahwa esok pasti pelajaran baris¬berbaris akan berjalan lancar.
Esoknya, kekacauan terjadi kembali. Sun Tzu pun mengumpulkan ketiga selir utama setelah membubarkan barisan. "Nyonya-nyonya, berdasarkan teori siasat saya, bila tiga kali berturut-turut suatu hal gagal dilakukan, maka orang yang gagal itu harus dihukum pancung. Karena itu, besok di hadapan seluruh selir Kaisar, saya akan melaksanakan hukuman itu."
Ketiga selir itu terperanjat. Mereka lari menghadap Kaisar untuk mengadukan Sun Tzu. Sun Tzu pun segera dipanggil menghadap.
"Benarkah Jenderal hendak memancung ketiga selir terkasih saya?"
"Benar. Paduka."
"Saya minta Jenderal membatalkan niat itu. Saya sungguh mencintai ketiga selir itu, dan tak ingin kehilangan satu pun dari mereka."
"Tetapi, bukankah Kaisar telah memberi wewenang penuh kepada saya untuk mendisiplinkan ke-150 selir Paduka?"
Kaisar menyerah. Ia tak ingin mencabut wewenang yang telah dideIegasikannya kepada JenderaI Sun Tzu.
Esok paginya, kehebohan itu terjadilah. JenderaI Sun Tzu memenggal leher jenjang ketiga selir elok itu di depan semua selir yang hadir Iengkap. Lalu, Sun Tzu berkata, "Sekarang saya akan memilih tiga orang Iagi untuk menjadi pelatih baris-berbaris. Akan saya berikan tiga kali kesempatan kepada mereka untuk melatih baris-berbaris dengan baik. Bila gagal Nyonya-nyonya tahu apa yang akan saya Iakukan."
Sun Tzu berhasil. Kaisar kini tak pusing Iagi dengan ke-14 7 selirnya yang hidup teratur serta penuh disiplin - semuanya berusaha melakukan yang terbaik untuk kebahagiaan Kaisar. Kaisar telah kehilangan tiga selir yang paling dikasihinya. Tetapi, kini ia memiliki 147 selir yang jauh Iebih disayanginya.
Itulah kiat Sun Tzu tentang personnel management dan pendelegasi¬an wewenang yang diceritakan kepada saya oleh Ir. Yani, seorang penggemar kiat yang bekerja di Bentoel sebagai direktur.


( Sumber : BONDAN WINARNO dalam bukunya ”Seratus Kiat Jurus Bisnis”)

Humas

ADALAH seorang sekretaris. Pia namanya. Saya belum mengenalnya ketika pada suatu pagi saya menelepon kantornya. Ada informasi yang mendadak saya perlukan dan harus saya peroleh dari bosnya. Dengan terlebih dulu minta maaf padanya, saya katakan bahwa waktu saya sangat terbatas. Saya minta tolong agar dia bisa mengatur waktu bagi saya untuk menemui bosnya hari itu juga, atau keesokan harinya.
Mungkin sudah dapat Anda tebak nasib saya. Kemungkinannya hanya ada dua: berhasil, atau tidak. Kali itu saya berhasil. Dan bukan hanya sekadar berhasil. Pia ternyata telah berusaha keras menghubu¬ngi bosnya yang sedang rapat di luar kantor, dan meyakinkan bosnya. bahwa keterangan yang saya perlukan itu akan berarti besar bagi perusahaannya .
Bukan red carpet treatment, memang. Tetapi, nyatanya, makin jarang saja saya menemukan sekretaris seperti itu. Yang paling sering terjadi adalah saya akan "dilempar" ke bagian humas. Dan lagak bagian humas ini bisa macam-macam. Kebanyakan dari mereka malah berusaha menghalangi wartawan mewawancarai pimpinan. Mungkin karena mereka sungguh-sungguh ingin melindungi pimpinan yang sedang sibuk. Tetapi bukan tak mungkin, mereka sendirilah yang ingin namanya tercetak di media cetak.
Saya bahkan pernah kena semprot seorang pimpinan humas sebuah industri besar di Bandung. Dari Jakarta saya sudah memperoleh petunjuk untuk menemui seorang direkturnya. Dan itulah yang saya lakukan setelah mendaftar dan menyerahkan kartu penduduk kepada penjaga pintu. Setelah tiga jam berwawancara, saya diminta pergi ke bagian humas untuk meminjam beberapa
garnbar. Di sana rnalah saya kena gertak, "Kok ada wartawan nyelonong ke direksi tanpa setahu saya?" Saya langsung pergi Untung, tidak saya katakan ia sebaiknya juga merangkap sebagai portir saja.
Di Solo, pada sebuah seminar pers, akhir Februari lalu, banyak wartawan yang berbeda pendapat dengan saya. Saya mengatakan bahwa masih sering terjadi ketegangan antara humas dan wartawan. Ketegangan itu, menurut saya, terjadi karena berbedanya harapan dari kedua belah pihak.
Sebaliknya, teman-teman di Solo mengatakan, hubungan antara wartawan dan humas baik-baik saja. Terus terang, saya menaruh curiga justru bila hubungan itu dikatakan baik-baik. Tidak usahlah kita munafik dalam hal ini. Tetapi tidak sedikit hubungan baik yang dipupuk dengan imbalan-imbalan materi. Apakah kita sepakat memberi label baik untuk hubungan seperti itu? Saya tidak mencurigai siapa-siapa, karena penyakit ini bahkan sudah dianggap budaya oleh beberapa orang.
Saya pun tidak berpandangan bahwa ketegangan antara wartawan dan humas itu perlu dihapus. Ketegangan kreatif toh perlu ada. Media pers kadang-kadang merasa canggung untuk memberitakan sukses suatu bisnis tertentu. Pers khawatir dituduh khalayaknya memperoleh imbalan tertentu dari perusahaan yang diberitakan keberhasilannya itu.
Alhasil, sukses bisnis jarang masuk media pers. Kalau bisnis masuk pemberitaan, lebih banyak karena ketidakberhasilannya. Sekarang pun, pemberitaan-pemberitaan membuat masyarakat menyimpul¬kan BUMN itu bobrok semua. Padahal, BUMN yang baik tak kurang jumlahnya. Akibatnya pun dapat diduga. Pimpinan bisnis menaruh curiga pada wartawan yang akan mewawancarainya. Disangkanya wartawan hanya mau mengorek berita buruk. Lalu dipasanglah gorden yang ketat agar wartawan tak menembus kamarnya. Mencari petugas humas pun sering kali harus melalui mekanisme yang luar biasa ketatnya.
Tetapi, bila tiba-tiba perusahaan perlu menyebarluaskan sebuah berita, bagian humasnya akan kalang kabut menyebar undangan ke semua media pers. Untuk menyampaikan berita tentang peluncuran produk baru saja, mereka sibuk menelepon agar pemimpin redaksi sendiri yang menghadiri jumpa pers. Seolah-olah pekerjaan pemimpin redaksi hanya menghadiri jumpa pers.
Lalu, apa sebenamya pekerjaan humas? Yang jelas, ia bukan sekadar membagi keterangan pers, karena tugas utamanya adalah membangun citra baik organisasinya. Membangun citra baik itu dapat ditempuh dengan memupuk pengertian, dan pemupukan pengertian dapat dicapai dengan pembinaan hubungan yang intensif.
Kapten bisnis dan industri sering pula menjadi sosok populer yang ikut membangun citra perusahaannya. Kalau kita mendengar Iacocca, kita ingat akan Chrysler. Kalau kita mendengar Akio Morita, mau tidak mau kita ingat akan sukses Sony. Kalau Tanri Abeng memberi komentar tentang makro ekonomi, perusahaan tempatnya bekerja akan ikut menikmati nama baik itu.
Lalu, Anda sudah berbuat begitu banyak dan belum juga masuk berita? Jangan-jangan ada yang salah di sekeliling Anda sendiri. Sekretaris dan humas Anda mungkin telah "mengucilkan" Anda sehingga tak terjangkau oleh masyarakat pers.

( Sumber : BONDAN WINARNO dalam bukunya ” Seratus Kiat Jurus Bisnis “ )

Melayani Pengemis

KALAU Anda membuka mata hati ketika melihat film seri Oshin di televisi, Anda akan melihat unsur-unsur keluhuran budi yang hidup pada masyarakat Jepang. Kita pun beruntung lahir sebagai bangsa yang mempunyai dan menempatkan penghargaan atas keluhuran budi.
lni adalah sebuah cerita yang terjadi ketika Jepang masih jauh dari kemakmuran. Seorang pengemis memasuki sebuah taka roti yang punya pelanggan orang-orang terpandang. la tidak datang untuk mengemis. la menyerahkan beberapa keping uang untuk membeli sepotong manju, semacam bakpau yang berisi kacang hijau.
Pelayan toko itu terkejut. Bergegas dibungkusnya pesanan manju itu agar pengemis segera pergi dari toko. Pemilik took sambil berkata, "Biarlah saya sendiri yang melayaninya".
Diserahkannya bungkusan manju itu kepada pengemis sambil membungkukkan tubuhnya untuk mengucapkan terima kasih. ketika pegemis sudah pergi, pelayan bertanya kepada pemilik toko itu. "Mengapa Anda lakukan hal itu? Anda malah tak pemah lelakukannya kepada pelanggan taka lain."
"Karena ia adalah pembeli istimewa. Orang-orang kaya pelanggan kita menganggap membeli roti dan kue di toko kita sebagai hal yang rutin. T etapi pengemis itu tentu sangat menginginkan kue dari toko kita dan mungkin telah berhari-hari mengumpulkan uang untuk dapat membeli sepotong saja. Saya tahu, membeli manju dari toko kita adalah hal yang sangat berarti baginya. Karena itu, saya putuskan saya sendirilah yang melayaninya."
Sebuah cerita yang sederhana, tetapi juga begitu indah. Setidaknya cerita itu menyampaikan pesan bahwa seorang konsumen harus dilayani secara adil tanpa memperhatikan prestise pribadi orang itu, atau jumlah pembelian yang dilakukannya .
Kualitas itu memang terasa mulai luntur dalam duma bisnis modem. Di Amerika, saya harus menunggu seorang petugas bagian tiket menyelesaikan pembicaraan telepon yang panjang dengan pacamya sebelum saya memperoleh tiket. Di Eropa saya harus berjalan di bawah hujan karena petugas hotel tidak merasa bertanggung jawab untuk membantu saya men.dapatkan taksl.
Tetapi tidak demikian halnya di Jepang. Ketika saya membeli sebuah obeng kecil yang tidak seberapa harganya , pelayan toko itu menggunting karton tebaI dan membungkus obeng itu dengan rapi agar tidak melukai saya atau melubangi saku saya ketika mengan¬tunginya.
Layanan istimewa agaknya sekarang makin menjadi ekslusif sifatnya. Lady Helmsley menjawab secara pribadi baik surat pujian maupun keluhan tamu hotelnya. Itu karena hotelnya di New York memang berbintang lima. Di restoran Maxim di Paris pun Anda akan dilayani seperti raja. Tetapi, untuk itu, selain membayar mahal Anda pun diharapkan meninggalkan tip di atas US$ 20. Seolah-olah konsumen produk masal tidak lagi berhak atas layanan.
Tidak heran, bila banyak perusahaan yang kini memberi tekanan khusus kepada masalah pelayanan ini. MacDonald, misalnya, tidak saja memakai detektor metal untuk memastikan bahwa tak ada benda berbahaya di dalam daging dan roti hamburgemya, atau memastikan ken tang gorengnya mempunyai kualitas yang sarna di seluruh dunia. MacDonald juga memastikan agar di semua outlet-nya terjadi mutu layanan yang sarna. Seorang dilayani rata-rata dalam 55 detik, kecuali ia datang dengan pesanan dalam jumlah besar. Bila tampak antrean yang cukup panjang, manajer outlet dengan segera akan ikut turun tangan melayani pelanggan.
Semua itu tetap dilakukan dengan keramahtamahan yang terjaga. Di Singapura ataupun Honolulu, di kedai Mac Donald, misal hampir pasti Anda akan disapa dengan kalimat ini: "Hi! How can I help you?" Dan anda pun akan segera memperoleh layanan yang menyenangkan,se kalipun uang Anda hanya pas-pasan untuk membeli sekantung kentang goreng, dan segelas kecil Coca-Cola.
Ada seorang ternan yang berpendapat bahwa orang Indonesia sulit menjadi pramugari yang baik. Soalnya, kebanyakan yang menjadi pramugari adalah anak-anak dari keluarga yang kecukupan. Di rumahnya, ia cukup berteriak untuk memperoleh minuman dari pembantunya. Ia hanya melemparkan sepatunya ke beIakang untuk kemudian kembali lagi dalam keadaan tersemir mengkilat. Dengan suasana seperti itu, dapatkah ia diharapkan memberi layanan dengan sepenuh hati kepada penumpang pesawat? Bila ia putri seorang kolonel, belum tentu ia akan sepenuh hati.
Tetapi, semboyan tentang pelayanan yang terbaik. temyata justru ridak datang dari organisasi bisnis. Rotary Club, sebuah organisasi sosial, memakai semboyan: Service Above Self. Memang, demikianIah adanya. Seorang tak akan mampu memberikan layanan kepada orang lain sebelum ia dapat mengalahkan dirinya sendiri.

( Sumber : BONDAN WINARNO dalam bukunya “ Seratus Kiat Jurus Bisnis “ )

Asal Bunyi

DI salah satu tempat kerja saya dulu, ada satu proses perencanaan yang kami beri nama: asbun, alias asal bunyi. Proses ini sebenamya punya nama yang lebih mentereng: brainstor­ming, atau curah pendapat. Pada tahap ini orang boleh mencurahkan apa saja yang ada dalam benaknya. Gagasan yang paling aneh pun bermunculan tanpa malu-malu. Karena itulah, secara bergurau, proses ini kami namai asbun, sekalipun kami tahu juga bahwa nama itu bisa mempunyai konotasi negatif. Penamaan kocak itu sengaja diberikan untuk membuang kesan formal dan kaku dari istilah brainstorming.

Apa, sih, perlunya proses brainstorming? Mengapa kita harus membuang-buang waktu untuk mempercakapkan hal-hal yang tak masuk akal? Dan, sungguhkah proses ini benar-benar asal bunyi ­suatu kegiatan yang tidak menuntut olah pikir?

BaikIah, Anda seorang penggemar teka-teki silang. Sudah sejam Anda berkutat menyelesaikan satu teka-teki silang dengan derajat kerumitan berbintang empat. Tinggal satu soal lagi: siapa nama seorang pelukis dari zaman Renaissance? Beberapa nama sudah Anda coba masukkan ke dalam sepuluh kotak yang tersedia. Tetap salah. Anda pergi ke rak buku dan tak menemukan satu pun buku yang bisa memberikan referensi ten tang pelukis Renaissance. Frustrasi. Anda lalu pergi ke rentang jendela dan memandang ke luar. Tiba-tiba ... seperti melihat bola lampu pijar yang tiba-tiba menyala dalam benak Anda, nama itu pun Anda temukan: Botticelli.

Siapa yang menyediakan nama itu dalam benak Anda? Bukan jendela itu. Bukan pula pemandangan di luar jendela itu. Nama itu dikirimkan oleh otak kanan Anda.

Organ intelek kita - menurut Para ahli - sebenamya merupakan dua belahan: kiri dan kanan. Struktur kedua belahan itu persis sarna. Begitu pula kegunaannya: untuk berpikir. Tetapi, kedua belahan itu mempunyai cara dan bakat yang berlainan dalam melakukan proses berpikir itu.

Para ahli berpendapat bahwa belahan otak kiri menghasilkan kemampuan verbal manusia. Seperti komputer, belahan otak kiri ini mengumpulkan informasL membuat sistematisasinya, dan juga mengolah pikiran menjadi bahasa verbal.

Sebaliknya, belahan otak kanan tidak mempunyai kemampuan verbal. Belahan otak kanan ini mempunyai kemampuan lebih dalam hal intuisi (kemampuan untuk mengetahui insight tanpa penalaran sadar), musik, puisi seni, dan bentuk keindahan lainnya. Para ahli juga menemukan keunggulan belahan otak kanan ini dalam melakukan persepsi holistik, atau gestalt.

Singkatnya, belahan otak kiri bertugas mengurai dan merakit kembali konsep-konsep dalam penalaran logis, sedangkan belahan otak kanan menangkap suatu situasi secara holistik, yaitu tanpa menguraikannya menjadi serpih-serpih gagasan.

Dengan kata lain, belahan otak kanan memberi orang kemampuan untuk melihat kategori, sehingga orang melihat sekelompok atau sejumlah unsur, bukan unsur-unsur yang berdiri sendiri. Misalnya, ketika melihat sebuah gambar kebun binatang, orang langsung berpikir dalam konsep sebuah kebun binatang. Bukan tentang binatang-binatang dan sebuah taman yang terawat rapi secara terpisah.

Sekalipun tampaknya kedua belahan itu bekerja berdasarkan kemampuannya masing-masing, keduanya bekerja secara bersama.

Kalau tidak begitu, tentulah manusia tak bisa berpikir secara oheren. Belahan otak kanan menyalurkan gagasannya kepada elahan otak kiri untuk diverbalkan.

Lalu, apa sebenamya penyebab kilas yang tiba-tiba muncul dalam benak kita itu? Menurut para ahli, ini memang sebuah fenomena yang menyimpang dari pola relay gagasan dari otak kanan ke otak kiri ,kejadian yang menyimpang dari sistem logis itu terjadi karena yang muncul itu bukanlah gagasan yang di-encode ke bahasa verbal. Seolah-olah ia merupakan letupan intuitif dari belahan otak kanan tanpa sensur belahan otak kiri.Emosi-emosi yang kuat, seperti kegembiraan, kenikmatan, kepuas­an, merupakan situasi-situasi yang memberi belahan otak kanan cukup umpan untuk menghasilkan kilas pikiran yang meletup dan menembus tirani otak kiri.

Kilas seperti itu juga dapat muncul ketika seseorang bermimpi, bersantai, dan tidak melakukan kegiatan penalaran yang mengaktif­kan otak kiri. Karena itu, bila kebuntuan menghambat pikiran Anda, cara yang terbaik adalah justru meninggalkan jalan buntu itu. Berjalan-jalan sebentar, mendengar musik lembut, melamun sambil memandang ke luar jendela, semuanya memberi kesempatan bagi belahan otak kanan mengisi celah yang tak dapat diisi oleh komputer otak kiri

Tak perIu gusar bila pikiran Anda tiba-tiba buntu. BiarIah pikiran Anda mengembara dan tunggulah sampai kilas itu tiba-tiba meletup. Atau, ajaklah orang lain melakukan curah pendapat. BiarIah letupan pikiran otak kanan ternan-ternan Anda memperkaya siasat mencapai sasaran yang akan dicapai.

( Sumber : BONDAN WINARNO dalam bukunya ” Seratus Kiat Jurus Bisnis”

Mengganti Ban Pecah

SEORANG bertanya kepada Confucius: bila orang telah sejahtera, apa lagi yang dapat diberikan kepadanya? "Buatlah agar dia menjadi kaya," kata Confucius. Dan kalau orang itu sudah kaya, apa lagi yang dapat diberikan kepadanya? "Didiklah dia," kata Confucius.

Menjadi orang kaya yang terdidik, itulah agaknya gambaran ide; dalam paham Confucius. Menjadi kaya, karenanya, adalah sah Konosuke Matsushita yang arif bahkan tak segan memakai semboyan peace and happiness through prosperity untuk majalahny Pikirnya, mustahil seorang merasa tenteram dan bahagia tanpa dukungan kecukupan harta secara layak.

Tetapi, orang kaya selalu ingin lebih kaya dan lebih kaya lagi. tidak akan berkesempatan lagi mendidik dirinya. Ketamakan telah mengungkung dirinya. Batas kebahagiaan pun menjadi kabur. Seorang teman duduk tercenung pada awal tahun ini. Ada awan kelabu menggantung di depan matanya. Beberapa staf inti perusahaannya secara serentak menuntut perbaikan gaji dan paket remunerasi. Tentu ada ancaman menyertai tuntutan itu: keluar. Dan keluarnya tenaga-tenaga senior itu besar kemungkinannya akan berarti lahirnya pesaing-pesaing baru dalam situasi bisnis yang tidak menentu ini.

That sinking feeling, kata orang Inggris, memang akan membt semua orang merasa gamang. "Tiba-tiba saya merasa sepi ditinggalkan sendiri," keluh ternan itu dalam helaan napas yang berat. Dan memang demikianlah seharusnya. Semakin tinggi seorang mendaki, semakin sendiri ia berada.lt's lonely at the top, keluhan yang sarna ini selalu terdengar di kalangan eksekutif puncak.

Keluamya staf kunci yang merupakan orang-orang terbaik memang rnahal dan akibatnya sangat rnengganggu. Apalagi bila jumlah yang pergi cukup banyak, hal itu bisa mengeringkan sumber day a rnanusia sebuah perusahaan yang sangat diperlukan dalam situasi persaingan yang semakin ketat.

Pada dasamya, turnover (keluamya pegawai dan digantikan dengan pegawai baru) justru diperlukan dalam sistern pernbinaan surnber daya manusia. Pada birokrasi saja dikenal sistem tour of duty untuk rnencegah agar seseorang tidak menjadi berkarat dan mati kreativi­tasnya di satu posisi. Turnnover yang tinggi tidak diinginkan. Tetapi, turnover yang rendah pun akan sarna buruknya. Jangan dulu berbangga bila di kantor kita tak ada seorang pun yang keluar dalam waktu sepuluh tahun terakhir ini. Bisa-bisa kantor itu sudah rnerupakan deadwood, hutan yang dipenuhi kayu mati. Orang-orang sudah telanjur keenakan mendekam di sana dan tidak merasa tertantang untuk berbuat lebih baik lagi.

Bagairnanapun baiknya kita rnengelola sumber daya manusia, kita akan tetap kehilangan staf terbaik kita. Dan untuk itu kita tidak perlu menyalahkan siapa-siapa. Sudah diberi saharn, keluar juga. Sudah diberi kesempatan cuti ke luar negeri, diberi tunjangan pensiun, diberi jabatan yang baik, tetap saja seseorang bisa menemukan ladang rumput yang lebih hijau. Apalagi adanya kecendenmgan di kalangan manajer muda yang lebih mementing­kan besarya gaji yang dibawa pulang setiap bulan ketimbang berbagai rnacam tunjangan.

Banyak cara yang bisa dipakai untuk mencegah keluarya staf inti.

Dan cara-cara itu tidak bisa berlaku umum. Diperlukan keluwesan dan banyak perlakuan khusus. Tetapi, yang lebih penting sebenamya adalah persiapan kita sendiri untuk rnenggantikan staf yang pergi itu.

Bila staf inti pergi, masalah yang ditinggalkannya ada dua: mencari penggantinya, dan mendidiknya agar dapat melaksanakan pekerjaan secara kornpeten. Seorang staf yang akan keluar biasanya sudah dapat dideteksi sikap dan kebiasaannya jauh-jauh hari. Bila hal itu sudah dideteksi, maka perlu disiapkan sedemikian rupa agar orang lain dapat melakukan pekerjaannya. Misalnya: dengan melakukan cross training. Bila staf yang satu pergi cuti, tugasi seorang staf yang lain untuk mengisi kekosongannya. la harus diberi wewenang sepenuh­nya agar apa yang dilakukannya sebagai pejabat semen tara itu tidak

diubah lagi bila pejabat yang sebenainya· kembali dari cuti.

Seorang dari eselon di bawahnya pun dapat dicoba untuk memakai "sepatu" yang lebih besar itu selama atasannya cuti atau dinas luar dalam jangka waktu lama.

Kita memang tak dapat sarna sekali menghapus kemungkinan ban pecah di dalam perjalanan. Karena itu, haruslah dipastikan bahwa kita membawa ban cadangan dan mempunyai kemampuan untuk mengganti ban itu dalam waktu singkat. Sebab, perjalanan tak boleh berhenti.

( Sumber : BONDAN WINARNO dalam bukunya “ Seratus Kiat Jurus Bisnis “ )

Jamuan Bisnis

NAPOLEON tidak pemah makan lebih dari 20 menit. la bahkan dapat menandaskan sarapannya dalam waktu tujuh menit. Presiden Ford selalu makan siang dengan menu yang sarna: keju dengan saus A-I, tomat atau bawang bombay, dan es krim butter pecan.

Seorang eksekutif tidak akan berlama-Iama makan siang kalau ia sendiri yang harus membayamya. Ini rumusan Barat, memang. Tapi agaknya mulai berlaku juga di Jakarta. Kalau harus bayar sendiri, maka ia akan memilih menu yang paling sederhana. Pada daftar menu ia tidak lebih dulu melihat jenis makanan yang dihidangkan, tetapi memilih harga yang paling pantas. Sebaliknya, kalau ia makan siang dengan rekan bisnis dan kuitansinya bakal dibayar kembali oleh kantor, maka ia akan menyaran­kan rekan bisnisnya mengambil full course - dari hidangan pembuka sampai kopi - agar ia punya alasan pula untuk menikmati makan besar.

Sekali-sekali, 'kan? la akan memesan salem asap sebagai pembuka. Lalu memilih bistik rusa yang paling mahal. Kopi pun akan dipilihnya yang tidak biasa, tetapi kopi yang disedu dengan kulit jeruk dan bulir cengkih. Untuk itu semua, bukan hanya makin banyak digit yang tercetak di atas kuitansi, tetapi paling sedikit diperlukan dua jam untuk me­nyelesaikannya.

Teman saya, yang mempunyai pegawai orang Amerika, pemah geleng­geleng kepala karena setiap bulan ia menerima setumpuk kuitansi resto­ran. Semuanya dengan dalih jamuan bisnis. "Masa dalam sebulan ada 20 jamuan makan siang dan 20 jamuan makan malam. Dan masa semuanya jamuan bisnis?" gerutunya. Restoran yang dipilih pun tidak tanggung­tanggung mahalnya. Lalu menjadi tidak jelas siapa yang sebenarnya di­traktir oleh perusahaan. Pegawainya sendiri, atau relasi bisnisnya? Dan sebelum keburu jadi bangkrut hanya karena urusan restoran, si bule itu pun lantas dipecat. Kembali ke Amerika, ia mungkin sekarang sudah kembali makan hamburger di tenda MacDonald, atau membawa rotinya sendiri dari rumah. Brown bag lunch

Di Jakarta, jamuan makan siang bisnis sudah agak lama jadi budaya baru. Setiap waktu makan siang restoran-restoran jadi penuh sesak. Bah­kan banyak restoran di Jakarta ini yang lebih laris pada waktu makan siang daripada waktu makan malam. Suasana seperti itu belum lagi tampak di kota-kota besar lain, seperti Surabaya, Semarang, Bandung, dan Medan.

Bisnis restoran di Jakarta melonjak. Akibatnya, anggaran perusahaan untuk jamuan bisnis pun meningkat. Dan, sarna dengan unsur anggaran lainnya, diperlukan cara untuk mengendalikan pengeluaran yang satu ini. Siapa yang bisa membuktikan bahwa ia makan siang dengan rekan bisnis, bukan dengan pacar, atau justru untuk bisnis pribadi?

Ada satu perusahaan yang hanya mengganti uang untuk jamuan bisnis itu bila kuitansi restoran diajukan bersama risalah pertemuan (contact report). Bukankah jamuan bisnis memang dimaksudkan untuk urusan bisnis? Jadi, wajar kalau pembicaraan bisnis di sela-sela makan siang itu dicatat dalam sebuah risalah agar mudah melakukan tindak lanjutnya nanti.

Ada juga satu perusahaan lain di Jakarta ini yang hanya mengganti 75% dari kuitansi jamuan bisnis itu. Alasannya? "Karena kami sebetulnya tidak bermaksud mentraktir karyawan kami sendiri," kata yang membuat aturan itu. "Lagi pula, ini adalah cara agar para eksekutif kami tidak terlalu royal menjamu rekan bisnisnya."

Mungkin yang untung adalah perusahaan yang kebanyakan eksekutif­nya adalah wanita. Soalnya, masih banyak eksekutif pria yang merasa risi ditraktir oleh klien wanita. Sering kali, sekalipun yang mengundang dan yang berinisiatif adalah eksekutif wanita, eksekutir prialah yang kemudian "merebut" kuitansi dan membayamya.

Yang juga sulit diatur adalah uang makan untuk tugas ke luar kota. Ada perusahaan yang memberikan per diem sejumlah yang cukup untuk makan. "Tapi nanti malah uang yang seharusnya untuk makan itu dihemat karena ia lebih membutuhkan uangnya, dan untuk itu ia mengorbankan gizinya selama dalam perjalanan," kilah seorang manajer. Untuk meng­ganti semua kuitansi makan selama perjalanan pun mengandung risiko­nya sendiri. Seorang ternan pemah menjadi gusar ketika ditegur oleh manajer keuangan: "Anda rupanya begitu gemar burung dara goreng dan cah sapi kailan, ya?" Soalnya, pada setiap perjalanan selalu saja muncul kuitansi semacam itu. la gusar karena tingkah laku makannya dimonitor oleh orang lain.

Urusan makan memang urusan yang sifatnya sangat pribadi. Tetapi ia menjadi tidak pribadi lagi kalau urusan itu menjadi tanggungan perusaha­an. Karena itu, wajar kalau perusahaan pun mengatur urusan mengisi perut ini.

(Sumber : BONDAN WINARNO dalam bukunya ” Seratus Kiat Jurus Bisnis” )

Meja Bersih

never give anything you don’t use yourself such as advise

PADA titik ini memang terjadi pertentangan batin. Saya suka melihat meja kerja yang bersih. Dan saya menganjurkan orang punya meja kerja yang bersih. Meja saya sendiri? Luar biasa. Berantakan. Semuanya tertumpuk menjadi satu. Pernah ada kawan memberi hadiah poster: this place is Hot always this messy, sometimes messier. Cuma, saya tak tega mencandai diri sendiri. Saya sudah mencari banyak alasan untuk keberantakan itu, tetapi belum ada yang cukup berbobot. Untung, tak ada tikus sehingga belum perIu dilakukan penggeropyokan di sini.

Meja bersih sedikitnya memberi tiga kemungkinan: pertama, semua pekerjaan beres tak tertunda; kedua, yang bersangkutan memang volume pekerjaannya rendah; ketiga, karena semua yang tampak berantakan di meja disembunyikan di laci atau di lemari. Jadi, kalau melihat meja kerja yang bersih, Anda boleh curiga bahwa laci dan lemarinya penuh hal-hal yang tak terselesaikan.

Di Brasil ada sebuah kantor yang mengharuskan meja kerja bersih dan setiap meja tidak boleh berlaci. lni dilaporkan oleh koran Asian Wall Street Journal minggu lalu. Amador Aguilar, 81, pendiri Bradesco (Banco Brasilei­TO de Descontos), bahkan tidak membolehkan adanya meja pribadi untuk para eksekutifnya. Mereka bekerja bersama-sama pada sebuah meja besar yang seperti meja rapat. Tak ada kantor pribadi. Tak ada sekretaris pribadi. Telepon pun dipakai bersama-sama. Semua mendengar semua transaksi dan persoalan yang terjadi. Mereka juga makan siang bersama­sarna di ruang makan. Kerja sarna adalah kunci keberhasilan Bradesco.

Bukan hanya di tingkat eksekutif "kekejaman" itu terjadi. Semua pegawai juga wajib menandatangani sumpah bahwa mereka harus menda­hulukan kepentingan Bradesco di atas kepentingan pribadi. Semua karya­wan harus mulai dari tingkat office boy. lni mungkin gaya yang ditirn Bob Sadino di Kemchicks, semua pegawai baru harus mengepel lantai dan mengelap telur dulu. Sebelum 15 tahun bekerja di Bradeseo, tak seorang pun akan memperoleh jabatan eksekutif puncak. Hal ini memang mem­buat generasi baru profesional sulit bertahan. "Yang kami pentingkan di sini adalah tingkah laku dan moralitas yang superior," kata Aguilar. "Dan itu tak diajarkan di sekolah dan perguruan tinggi. Lihat saja, penjara kini penuh oleh sarjana."

ltulah kiat Aguilar membesarkan usahanya. "lni lebih datipada sekadar bank. lni agama," kata seorang direktumya. Memang tak semua dari 137 ribu karyawan Bradeseo meyakini "agama" itu, tetapi toh mereka tinggal bersatu. Bagi mereka, tampaknya memang tak ada pilihan yang lebih baik. Bradeseo telah banyak "mencampuri" urusan kehidupan mereka. Bank ini mempunyai 29 sekolah untuk menampung keluarga karyawan dan anak­anak dari keluarga tak mampu. Tiga puluh tiga ribu murid sekolah itu sudah mendapat penataran ten tang prinsip Bradeseo, agar mereka tertarik bekerja di Bradeseo setelah tamat. Aguilar yakin, perusahaan harus mem­punyai tanggung jawab sosial terhadap karyawannya. Karena itu, Brades­co menyediakan sekolah, kolam renang, stadion, rumah sakit, dan ling­kungan yang menyenangkan di sekitar kantor pusatnya di pinggiran Sao Paulo.

Aguilar sendiri sebenarnya menjadi bankir karena "kecelakaan". Umur 13 tahun ia meninggalkan sekolah. Seperti anak lain, ia sekolah sambil membantu pekerjaan di ladang. Sekeluar dari sekolah ia menjadi tukang set huruf di percetakan. Baru setahun ia bekerja di situ, telunjuk kirinya patah terjepit. Kehilangan modal utama sebagai tukang set huruf, ia lalu berhenti dan bekerja pada sebuah bank kecil yang pada suatu saat ke­mudian dibelinya.

"Laci hanya tempat menyimpan pekerjaan yang baru akan diselesaikan besok," kata Aguilar. Memang tak ada pekerjaan tertunda di Bradeseo. Bank itu bahkan sudah dibuka pada pukul tujuh pagi. "Agar para petani dapat singgah dulu ke bank sebelum ke ladang," kata Aguilar.

Aguilar pulalah bankir pertama di Brasil yang memberikan pinjaman kepada petani kecil kopi dan petemak kecil. Suatu gagasan revolusioner karena sebelumnya hanya orang-orang kaya dan terpandang yang bisa menikmati fasilitas kredit. "Dia seorang visionary," kata seorang bawahan­nya. "Jarang ada bankir yang memikirkan rakyat kecil."

Bradeseo kini adalah bank swasta terbesar di Brasil.

(Sumber : BONDAN WINARNO dalam bukunya ” Seratus Kiat Jurus Bisnis ”