Wednesday, August 27, 2008

Etika Bisnis

ETIKA bisnis, kata seorang Yahudi kepada anaknya, adalah hal ang paling penting. Di atas segalanya. "Beri aku sebuah Ayah, supaya aku paham maksudmu," kata anaknya.
” Baru saja kualami tadi pagi," kata ayahnya. "Seorang pembelidatang mengambi! jaket kulit seharga seratus dolar. Kuterima pembayarannya sambi! mengucap terima kasih. Lalu, kubungkus jaket dengan rapi dan kuantar dia hingga ke luar pintu. Setelah masuk kembali, barulah kusadari, temyata yang diberikannya padaku bukanlah selembar seratus dolar, melainkan dua lembar.
" Disitu etika bisnis lalu muncul sebagai masalah?" sela anaknya.
” betul ” potong ayahnya. "Masalahnya adalah: apakah aku harus memberitahu mitra bisnisku atau tidak."
Etika bisnis memang kini jadi lelucon belaka. Soalnya, siapa sih yang mau menatatinya secara mumi? Wall Street Journal baru saja memuat karangan seorang redaktumya, Robert L. Bartley, "Business d Ethics Business". Apakah kita sedang hidup dalam abad keambrukan moral? ltulah yang dipersoalkan tulisan itu.
Kita justru sedang hidup dalam kefanatikan moral. Paling tidak, itulah yang menghiasi mulut kita. Orang mengutuk praktek inside tranding yang banyak terjadi ketika ramai-ramainya perusahaan yang mengambi! alih saham perusahaan yang lain.
Orangkembali mendambakan masa-masa seperti abad pertengah¬ ketika motif keuntungan dipertentangkan dengan konsep noblese oblige . Ketua SEC (Securities and Exchange Commission) di Amerika Serikat bahkan rela menghibahkan dana sejumlah US $ 30 juta kepada sekolah bisnis di Boston untuk secara khusus mengajarkan etika bisnis sebagai mata kuliah terakhir. Dan etika bisnis memang lalu jadi topik masalah yang menggejala pada pidato-pidato wisuda mahasiswa sekolah bisnis di Amerika Serikat.
Bisnis selama ini memang selalu dicurigai sebagai sebuah lembaga yang hanya bergerak karena adanya ketamakan untuk menghasilkan keuntungan. Padahal, dalam bisnis yang sesungguhnya, keuntungan justru merupakan biaya untuk melanjutkan usaha. Keuntungan dipakai untuk menumbuhkan usaha baru yang menciptakan lapangan pekerjaan baru, atau dipakai untuk membayar dividen sebagai penghargaan terhadap orang yang telah menanamkan modalnya - ini pada akhirnya justru akan menarik pen an am modal baru.
Bahwa etika bisnis dibicarakan secara hampir obsesif, tentulah karena situasinya memang sudah hancur-hancuran. Bisnis telah terlibat jauh dalam perdagangan senjata secara gelap-gelapan, atau menyediakan dana untuk gerombolan orang bersenjata yang hendak menggulingkan sebuah pemerintahan. Bisnis telah menemukan atap-atap yang am an untuk melindungi uangnya dari pemajakan di beberapa negara kecil atau kepulauan tertentu. Bisnis telah menemukan cara untuk menembus sistem kuota agar mereka tetap dapat menjual volume yang membebani persediaannya. Bisnis telah membuat berbagai tali-temali dengan penguasa untuk memperoleh sebuah pasar yang terjamin.
Di Amerika Serikat,. kaum bisnis tidak berani Iagi berbuat tak etis kepada konsumennya. Mereka telah lama belajar, mengurangajari konsumen berarti bunuh diri. T etapi, untuk tetap mempertahankan bottom line yang baik, ada berbagai masalah internal yang Iantas menjadi kurang etis. Keputusan manajemen tentang nasib karya¬wannya menjadi masalah etika yang dalam era "re-inventing the corporation" ini merupakan pertimbangan utama.
Di Indonesia, etika bisnis mungkin malah tampil dalam bentuknya yang Iebih rumit daripada di Amerika. Ia harus menghadapi pemerintah, yang, selain merupakan pihak pengatur, sekaligus juga merupakan konsumen terbesar. Dapatkah Anda bayangkan sebuah perusahaan komputer yang 80% bisnisnya bergantung pada pemerintah dan tetap memegang etika untuk tidak memberikan komisi dalam bentuk apa pun kepada oknum yang menentukan pembelian itu? Seorang eksekutif perusahaan besar di Indonesia berkata, "Memang itu membuat hidup kami lebih sulit. Tetapi, kami bangga tidak ikut melakukan hal itu." la bangga karena ia menjadi perkecualian - menjadi satu dari sedikit pohon putih dalam rimba yang hitam.
Tidak ikut "menipu" konsumen pun menjadi godaan berat bagi pengusaha kita. Masyarakat, yang sebagian terbesar kurang eanggih dalam memiiih, masih terlalu mudah diyakinkan pada produk-pro¬duk substandar.
Berbuat tak etis terhadap karyawan merupakan hal yang sarna mudahnya. Padatnya antrean di luar lapangan kerja membuat mereka yang telah memperoleh pekerjaan tetap bertahan, sekalipun dalam kondisinya yang buruk.
Tetapi bukankah sejarah telah membuktikan bahwa mofalitas yang kaeau mengandung bahayanya sendiri? Sebaliknya, fanatisme terhadap moral membuat orang kelupaan bahwa sasaran sesung¬guhnya adalah mencari pimpinan bisnis yang unggul dalam segala hal, bukan cuma juru doa.

( Sumber : BONDAN WINARNO dalam bukunya ” Seratus Kiat Jurus Bisnis”)

No comments: