Wednesday, August 27, 2008

Jamuan Bisnis

NAPOLEON tidak pemah makan lebih dari 20 menit. la bahkan dapat menandaskan sarapannya dalam waktu tujuh menit. Presiden Ford selalu makan siang dengan menu yang sarna: keju dengan saus A-I, tomat atau bawang bombay, dan es krim butter pecan.

Seorang eksekutif tidak akan berlama-Iama makan siang kalau ia sendiri yang harus membayamya. Ini rumusan Barat, memang. Tapi agaknya mulai berlaku juga di Jakarta. Kalau harus bayar sendiri, maka ia akan memilih menu yang paling sederhana. Pada daftar menu ia tidak lebih dulu melihat jenis makanan yang dihidangkan, tetapi memilih harga yang paling pantas. Sebaliknya, kalau ia makan siang dengan rekan bisnis dan kuitansinya bakal dibayar kembali oleh kantor, maka ia akan menyaran­kan rekan bisnisnya mengambil full course - dari hidangan pembuka sampai kopi - agar ia punya alasan pula untuk menikmati makan besar.

Sekali-sekali, 'kan? la akan memesan salem asap sebagai pembuka. Lalu memilih bistik rusa yang paling mahal. Kopi pun akan dipilihnya yang tidak biasa, tetapi kopi yang disedu dengan kulit jeruk dan bulir cengkih. Untuk itu semua, bukan hanya makin banyak digit yang tercetak di atas kuitansi, tetapi paling sedikit diperlukan dua jam untuk me­nyelesaikannya.

Teman saya, yang mempunyai pegawai orang Amerika, pemah geleng­geleng kepala karena setiap bulan ia menerima setumpuk kuitansi resto­ran. Semuanya dengan dalih jamuan bisnis. "Masa dalam sebulan ada 20 jamuan makan siang dan 20 jamuan makan malam. Dan masa semuanya jamuan bisnis?" gerutunya. Restoran yang dipilih pun tidak tanggung­tanggung mahalnya. Lalu menjadi tidak jelas siapa yang sebenarnya di­traktir oleh perusahaan. Pegawainya sendiri, atau relasi bisnisnya? Dan sebelum keburu jadi bangkrut hanya karena urusan restoran, si bule itu pun lantas dipecat. Kembali ke Amerika, ia mungkin sekarang sudah kembali makan hamburger di tenda MacDonald, atau membawa rotinya sendiri dari rumah. Brown bag lunch

Di Jakarta, jamuan makan siang bisnis sudah agak lama jadi budaya baru. Setiap waktu makan siang restoran-restoran jadi penuh sesak. Bah­kan banyak restoran di Jakarta ini yang lebih laris pada waktu makan siang daripada waktu makan malam. Suasana seperti itu belum lagi tampak di kota-kota besar lain, seperti Surabaya, Semarang, Bandung, dan Medan.

Bisnis restoran di Jakarta melonjak. Akibatnya, anggaran perusahaan untuk jamuan bisnis pun meningkat. Dan, sarna dengan unsur anggaran lainnya, diperlukan cara untuk mengendalikan pengeluaran yang satu ini. Siapa yang bisa membuktikan bahwa ia makan siang dengan rekan bisnis, bukan dengan pacar, atau justru untuk bisnis pribadi?

Ada satu perusahaan yang hanya mengganti uang untuk jamuan bisnis itu bila kuitansi restoran diajukan bersama risalah pertemuan (contact report). Bukankah jamuan bisnis memang dimaksudkan untuk urusan bisnis? Jadi, wajar kalau pembicaraan bisnis di sela-sela makan siang itu dicatat dalam sebuah risalah agar mudah melakukan tindak lanjutnya nanti.

Ada juga satu perusahaan lain di Jakarta ini yang hanya mengganti 75% dari kuitansi jamuan bisnis itu. Alasannya? "Karena kami sebetulnya tidak bermaksud mentraktir karyawan kami sendiri," kata yang membuat aturan itu. "Lagi pula, ini adalah cara agar para eksekutif kami tidak terlalu royal menjamu rekan bisnisnya."

Mungkin yang untung adalah perusahaan yang kebanyakan eksekutif­nya adalah wanita. Soalnya, masih banyak eksekutif pria yang merasa risi ditraktir oleh klien wanita. Sering kali, sekalipun yang mengundang dan yang berinisiatif adalah eksekutif wanita, eksekutir prialah yang kemudian "merebut" kuitansi dan membayamya.

Yang juga sulit diatur adalah uang makan untuk tugas ke luar kota. Ada perusahaan yang memberikan per diem sejumlah yang cukup untuk makan. "Tapi nanti malah uang yang seharusnya untuk makan itu dihemat karena ia lebih membutuhkan uangnya, dan untuk itu ia mengorbankan gizinya selama dalam perjalanan," kilah seorang manajer. Untuk meng­ganti semua kuitansi makan selama perjalanan pun mengandung risiko­nya sendiri. Seorang ternan pemah menjadi gusar ketika ditegur oleh manajer keuangan: "Anda rupanya begitu gemar burung dara goreng dan cah sapi kailan, ya?" Soalnya, pada setiap perjalanan selalu saja muncul kuitansi semacam itu. la gusar karena tingkah laku makannya dimonitor oleh orang lain.

Urusan makan memang urusan yang sifatnya sangat pribadi. Tetapi ia menjadi tidak pribadi lagi kalau urusan itu menjadi tanggungan perusaha­an. Karena itu, wajar kalau perusahaan pun mengatur urusan mengisi perut ini.

(Sumber : BONDAN WINARNO dalam bukunya ” Seratus Kiat Jurus Bisnis” )

No comments: