Wednesday, August 27, 2008

Korban Desas-Desus

KIAT tentang "penyakit eksekutif' ternyata banyak mendapat tang­gapan langsung. Salah seorang penelepon mengatakan kepada saya bahwa stress juga bisa disebabkan oleh desas-desus. Di kantor tempatnya bekerja sudah sebulan tersiar desas-desus bahwa perusahaan akan ditutup karena bangkrut. Akibat desas-desus itu, seluruh karyawan di perusahaan itu menderita stress. Maklum, desas-desus itu tidak menyebut apakah akan ada pesangon bila karyawan dirumahkan karena perusahaan tutup.

Desas-desus memang bisa mengakibatkan stress. Dalam sebuah kursus tentang assessment and interviewing diajukan sebuah kasus yang menimpa diri Jane Stanwood. Jane adalah seorang pegawai baru di bagian akunting. Pengalamannya memang belum banyak, tetapi dalam minggu-minggu pertama bekerja ia telah menunjukkan prestasi yang baik. Sebulan ter­akhir.ini Jane menunjukkan penurunan prestasi dan produktivitas secara drastis. Datangnya selalu terlambat. Hasil kerjanya menunjukkan ketele­doran. Jane pun tampak tidak acuh dan kurang bergairah dalam me­nyelesaikan pekerjaannya. Dua kali ia sudah diperingatkan oleh atasan­nya, tetapi tetap saja prestasinya tidak membaik. Bahkan lebih buruk.

Atasannya lalu memanggil Jane dan mengajaknya bicara. Kepada Jane diberitahukan lagi standar prestasi yang diharapkan darinya serta konse­kuensi yang bisa diterimanya bila standar itu tidak dipenuhi. la memper­oleh waktu percobaan selama dua minggu untuk memperbaiki, dan pen­capaiannya akan ditinjau lagi pada akhir masa percobaan.

Adakah perbaikan? Ternyata tidak ada. Bahkan dalam dua minggu itu tampak perkembangan baru. Jane tinggal lebih lama di ruang istirahat. T ernyata ia tertidur di sana. Atasan lalu memanggil Jane lagi. Kebetulan atasan ini bukan jenis orang yang mudah memecat orang. Dengan kebapak­an ia menyapa Jane. "Jane, saya pikir ada sesuatu yang mengganggu pikiranmu. Coba katakan, mungkin saya dapat membantu memecah­kannya."

Jane tampaknya dapat mempercayai bahwa atasannya sungguh ­sungguh tulus ingin membantunya. "Sebetulnya saya memang sudah putus asa. Lebih baik saya diberhentikan saja. Karena itu, saya pikir percuma juga kalau saya berusaha memperbaiki prestasi." Atasan dengan sabar mendengarkan Jane. Kesabaran itu mempertinggi kepercayaan Jane dan akhimya ia mengaku bahwa selama enam minggu terakhir ini ia·telah melakukan moonlighting (kerja rangkap) di tempat lain. Kerja rangkap ini menyebabkan ia bekerja 16 jam sehari terus-menerus. Tentu saja kerja 16 jam sehari bagi Jane merupakan pekerjaan yang sangat melelahkan. Kele­lahan itu tampak nyata pada penampilan Jane akhir-akhir ini.

Sampai di sini kasus itu memberikan tiga altematif bagi atasan untuk mengambil tindakan terhadap Jane.

1. Mengucapkan terima kasih atas kejujuran Jane, tetapi menegaskan kepadanya bahwa ia harus memilih salah satu dari dua pekerjaan itu.

2. Mengatakan kepada Jane bahwa gajinya akan dinaikkan bila ia me­ninggalkan pekerjaan rangkapnya dan meningkatkan prestasinya di kantor.

3. Meneruskan wawancara dengan Jane dan menanyakan mengapa ia

mengambillangkah untuk melakukan pekerjaan rangkapnya itu.

Bila Anda memilih altematif terakhir, ada kemungkinan bahwa Jane akhimya menghargai kesabaran dan kepekaan Anda untuk memahami masalahnya. Kepercayaan Jane kepada Anda membuat ia lalu berterus terang menceritakan masalahnya secara lengkap.

Ternyata, dua bulan yang lalu Jane mendengar desas-desus bahwa setiap karyawan yang ketahuan pemah berurusan dengan polisi akan dipecat dari perusahaan. Desas-desus itu tentu saja mengecutkan hati Jane. Ia memang pemah berurusan dengan polisi ketika bersama teman-temannya ia melakukan demonstrasi antinuklir. Tentulah bukan urusan polisi macam itu yang membuat ia memenuhi syarat untuk dipecat. Karena kekhawatir­an akan kehilangan pekerjaan itulah maka Jane lalu mempersiapkan diri dengan mencari pekerjaan tambahan.

Dengan penjelasan atasan, Jane akhimya merasa yakin bahwa ia bisa terus bekerja di kantor itu. Ia keluar dari pekerjaan rangkapnya dan kembali tampil produktif. Jane tentu beruntung karena ia mempunyai atasan yang peka sehingga soal sepele yang menegangkan ini bisa dilalui dengan baik.

Seorang atasan harus pula dapat mengenali sumber desas-desus

di lingkungannya. Suasana kantor dan hubungan antar karyawan pun perlu dipupuk sedemikian rupa agar desas-desus langsung mati sebelum berkembang. Tegasnya, penyebar desasdesus adalah orang yang memenuhi

syarat untuk dipecat. Sebab, sudah banyak contoh hal-hal sepele yang menjadi rumit hanya karena desas-desus.

( Sumber : BONDAN WINARNO dalam bukunya ” Seratus Kiat Jurus Bisnis “ )

No comments: